Pages

Friday, December 5, 2025

Pekerja Malam

Mungkin karena terbaisa dengan rutinitas pagi seperti anak sekolah, bekerja pun dianggap pagi hingga sore dna harus di kantor. Jaman dulu freelancer, kerja dari rumah, punya usaha sendiri yang flexible, jualan online, dosne luar baisa yang ngajar seusia jadwalnya saja, bisa dianggap pengangguran. Apalagi jika bekerja di malam hari hingga dini hari, bisa dianggap anomali dan bermasalah bahkan aib.

Saat pandemi, dimana banyak yang bekerja dari rumah atau yang dikenal dengan WFH, lewat zoom, tektok email, remote. Ada masyarakat yang mulai melek dan naik kesadaran bahwa bekerja tidka harus pergi kelaur rumah, di kantor, dari pagi hingga sore. Karena apda hakikatnya bekerja adalah mencari uang dna ladang pekerjaan jenisnya beragam. Alhasil bekerja remote sudha dianggap hal normal, lumrah, bahkan suatu hal yang dicari.

Kemudian tentang jam kerja, malam hari dan perempuan. 
Contoh tempat dan profesi yang dilakukan malam hari:

Club.
Club adalah tempat hiburan malam yang menyediakan band, dj, music, makanan, minuman, atraksi. Banyak sekali profesi yang ada di jam operasional club. Mulai dari resepsionis, satpam, keamanan, waiter, bartenders, dj, pemain band, dancer, pengarak minuman, pemain akrobat, cleaning service, host, party girl (semacam marketing untuk meramaikan suasana). 

Syuting.
Ternyata ada syuting yang memang di lakukan malam hingga dini hari, seperti ajang pencari jodoh yang kadang sebagian kandidatnya adalah settingan sebagai pengembira, Dan orang yang ikut syuting ini bukan orang terkenal yang saat papasna di jalanan, semua orang langsung tau.

Jadi kalau ada perempuan pulang malam pakai baju seksi, bisa jadi dia hanya hosting (marketing club) untuk meramaikan tempat dengan penampilan yang mengembirakan (misal). Atau petugas keamanan, perempuan yang abis syuting acara, abis tampils ebagai dancer, akrobator, dj, penyanyi, pemain musik, dll. Jadi tidak semua perempuan pekerja malam itu adalah ani-ani atau PSK. 

5/12/2025

Beberapa hari ini buka threads, muncul postingan tentang kontra LPDP untuk semua. Ada yang menganggap anak orang kaya tidak layak untuk mendapatkan beasiswa LPDP. Padahal beasiswa mengejar kualitas juga, tidak sebatas kurang mampu atau miskin. Stop minta privillage bantuan dan kemudahan biaya karena miskin. Selama diri berkualitas, mau miskin ya jalan selalu ada. Tidak akan pernah takut tersaingi oleh orang yang dianggap kaya dna jauh lebih mampu. Disini kompetisi kualitas personal, bukan jual inferiority "miskin berhak dapat beasiswa, anak orang kaya tidak berhak". Heyyyy anak orang kaya itu yang kaya orang tua nya, sama aja yang miskin itu orang tuannya jg. Secara individu ya mereka sama, tidak ada masalah jika diadu kualifikasinya. 

*disclaimer, bukan anak lpdp atau anak orang kaya.

Sedikit cerita, 
Jaman sekolah 1990-2000an, itu ada sekolah unggulan yang isinya benar-benar tersaring. Saya pengejar lingkungan, berambisi sekali masuk sekolah bagus biar punya lingkungan baik (kompetitif, pinter-pinter, fair, dan sehat). SD masuk sekolahan yang dianggap bagus di tempat itu, saat masuk SMP unggulan,a da yang tanya "kamu dr SD mana", saat saya jawab SD X, komen orang-orang "wah itu sekolah anak orang kaya smeua ya". Disitu mendadak sadar, iya juga ya, teman-teman sayang dari keluarga yang sangat mampu. teringat jaman hip suatu sepatu, saya merenggek ke ortu minat dibellin. Ortu komen "itu harga sepatu sebesar gaji satu bulan ibu". Tapi saya bisa bertahan di sekolah itu karena secara otak, kemampuan, kualitas diri baik, dan mampu bergaul dengan baik juga, tidak merasa inferior atau harus ngikutin demi bisa diterima. Karena fokusnya ke pengembangan diri.

di SMP dan SMA yang dianggap bagus, lingkungan lebih heterogen dan tetap memiliki satu kesamaan. Saya tumbuh cukup baik dan ter nurturing selama sekolah. Karena filter yang baik akan menjaga kualitas orangnya yang masuk, sehingga lingkungan pun terjaga. Saat kuliah masuk ITB, saya sangat bersyukur sekali (rasa syukur muncul justru setelah belasan tahun lulus). ITB memberikan ruang belajar, tumbuh, dan pengembangan diri yangs angat baik, aman, dan sehat (personally). Saya bisa bergaul dengan beragam jenis orang (suku, etnis, latarbelakang keluarga, level sosial ekonomi, dll) dan itu membuka perspektif tersendiri; ITB tidak membungkam dan mengecilkan, sifat kritis saya terfasilitasi dengan baik disana; dan beruntung masuk ke kelas yang telat 3 menit kerjana 1 semester kita dibuang dan ngulang 1 tahun, sifat komitmen akan waktu dna displin saya dihargai disana. Ya pengalaman orangs ekolah akan berbeda tergantung personality nya masing-masing, tidak bisa di generalisir. 

Bersyukur sekali dengan sistem pendiidkan di masa itu yang sangat menyaring siswa dan mahasiswnaya berdasarkan kualitas, bersyukur pernah sekolah di lingkungan yang memacu pertumbuhan dan baik. Terimakasih.

Bayangkan sekarang, sekolah bisa bebas diakses siapa saja hanya dengan syarat lokasi tempat tinggal (radius KM). Terlalu banyak keberagaman, range nya pun terlalu jauh. Pengalaman jadi sisten dosen di ITB, ngajarin anak-anaknya lebih mudah dan senneg melihat orang tumbuh karen amereka sekolah karena keinginnnya dna punya motivasi tinggi. Saat menjadi dosen di bbrp kampus swasta apalagi yang baru, itu ada anak yang pinter, bisa, bahkan banyak juga yang dibawah rata-rata, mengajarnya pun sulit dan tidak bisa sekeras di PTN. Dan tidak sedikti dari mereka kesadaran dan motivasi kuliahnya hanya sekedar menjalankan kehidupan, disuruh ortu, dan ya sekolah saja. (tidak mengeneralisir ya).

Dan saat bekerja, terasa sekali bedanya.
Ohya, nasib orang setelah lulus berbeda-beda, banyak variable. Dari mulai keadaan ekonomi, keluarga, perputaran hidup, masalah personal, ya benar-benar nasib. Karena bekerja tidak hanya butuh kualitas diri, ada peran opportunity dan jalan hidup juga. Lanjut bahas kantor. Nah saat bekerja karena himpitan uang; semua idealisme, standard ideal dilepas. Masuk kantor yang isinya orang-orang dari kampus-kampus yang gatau dimana dan baru denger. Dan itu budaya yang tercipta jadi sebatas for surive. Tidak ada diskusi intelektual, tidak ada jiwa-jiwa kritis dan haus akan perubahan, tidak ada motivasi tinggi to achieve more dan tumbuh, bahkan banyak yang hanya peduli sama diri sendiri even di level manager/ team leader. Belum lagi sistem dan lingkungannya sangat mematikan jiwa, menahan pertumbuhan, merusak integritas, dan sangat manipulatif abusif. Jauh dari rasa kepedulian terhadap sesama, nurturing, encourage others, growth. Pada akhirnya yang waras dan sehat yang resign. Dan orang-orangs eperti itu terbentuk sudah dari kecilnya, masa sekolahnya, lingkungan rumah, tumbuh, sekolah, dan pergaulannya. 

Jadi lingkungan sangat penting...
Menjaga kualitas orang-orang dalam suatu ekosistem pun penting.
Apalagi buat orang-orang kaya air yang sangat absorbing, seperti cermin yang memantulkan tempat ia berada. Adaptasi bukan berarti harus menjadi sama dan mengecilkan atau "mematikan" diri hanya untuk diterima dan memiliki pola yang sama. 

Thursday, December 4, 2025

Komunikasi

Ada strangers cerita tentang perceraian karena masalah komunikasi.
Saat ada masalah, suaminya selalu avoid, menghindar, ngilang, membiarkan masalah diem sendiri. Saat sudah dianggap kondusif dan reda, ia mulai muncul dan menghindari membicarakannya, dianggap yang lewat sudahlah berlalu. Hal ini terjadi berulang selama bertahun-tahun tanpa ada masalah yang pernah terselesaikan dan selesai. Hingga suatu saat meledak tak terhindarkan dan selesai, pernikahannya yang selesai.

Seberapa banyak orang yang tak mampu mengkomunikasikan masalah, perasaannya, kepentingannya, merespon orang dengan baik dan bertanggung jawab? Seberapa banyak orang yang menghindar saat ada masalah? yang melakukan agresi dalam diam dengan nyuekin, diemin, mengabaikan, silent treatment emotionally abuse to gain control dan mengerus self worth orang. Dan dia selalu pengen orang yang dateng duluan, minta maaf, dan membavlidasi dirinya benar dan powerfull? seberapa banyak orang yang asertif, terlalu ekspresif, dan meledak saat di push/ di bungkam?

Seberapa banyak orang menebak berasumsi yang tak pernah dia ungkap dan konfirmasi? bagaimana jika asumsi muncul dr trauma past experience dan saat dikomunikasikan tanda konfirmasi tapi di judge labeling negatif? Seberapa banyak orang yang berharap orang paham keadaaanya tanpa ada komunikasi sama sekali? Dan saat orang kesel meledak, orang ini komen "harusnya kamu paham, kan blabla kan blabla". Dan itu bentuk maniuplasi shift blamming.

Komunikasi mungkin hal sederhana, ternyata tidak semua org bisa.
Respon "sedang nyetir" bisa menyelamatkan orang yg sedang struggle dari asumsi, anxiety, depresi, dan bunuh diri. Respon "kita bahas nanti" sudah bentuk respect others, menenangkan situasi, meskipun tidak tahu kapannya. Respon "nanti dihubungi lg", "sorry batal ya ga jadi", "memang benar kamu blabla?". Hal-hal sederhana yang mempermudah komunikasi dan relasi. 

Komunikasi baik bukan sebatas "selamat pagi", "terimakasih", "maaf menganggu" dan tetek bengek sosial norma lainnya. Tapi bagaimana kita membaca situasi, keadaan, menangkap pesan aslinya, menghargai orang denga being listened and respon (no ghosting or silent treatment), make it clear, give closure. Dan orang yang menghargai orang lain, saat boundaries nya ke cross ia akan menyampaikan, bukan diemin cuekn berharap orang paham sendiri, yang ada malah makin ribet masalah dan bahaya nya bikin orang mempertanyakan keberhargaan dirinya dengan di gituin.

Trusting Self

Setiap orang memiliki awarenessnya masing-masing baik being dan tubuhnya. Dan setiap pengalaman yang di rasakan, semuanya valid. Not just perception, we can sense energy. 

Nah saat kita tumbuh di lingkungan yang manipulatif, abusif, gaslighting, yang sering meng invalidasi sebagai bentuk mendistorsi realita diri untuk lepas dari tanggung jawab atau gain kontrol; orang mungkin akan belajar untuk invalidasi dirinya sendiri, untuk mengecilkan perasaannya, untuk mempertanyakan awarenessnya, untuk mengkhianati intuisinya, dan tidak mempercayai dirinya sendiri dan butuh validasi luar untuk mengkonfirmasi experience, intuisi, dan awarenessnya.

Baiknya, semesta memfasilitasi untuk kita kembali terhubung dengan diri dan belajar mempercayai diri kembali. Lewat kejadian-kejadian sejenis, lewat orang-orang manipulatif, lewat orang-orang yang tidak mau memvalidasi truth yang hadir, lewat situasi kondisi tersebut yang berulang. Samapi akhirnya kita sadar, belajar mengakui diri, memvalidasi diri, trusting self, dan akhirnya bersatu dengan diri kembali. Kita tumbuh menjadi orang yang tak bergantung pada siapapun untuk memvalidasi pengalaman, perasaan, emosi, bahkan insight yg datang. Sehingga langkah kita lebih cepat dan mudah.

Lalu trusting self itu apa?
Sesederhana dunia bilang makanan A enak, tapi kamu ngerasainnya gak enak, ya trust self. 
Jangan nyalahin diri sendiri karena kamu merasakan hal berbeda, gak perlu cari bukti kenapa makanan A yang kamu gak enak, gak perlu cari dukungan orang lain untuk memvalidasi makanan A di kamu gak enak. Just trust self dan done.

Semakin kita kenal diri sendiri, trust diri sendiri, semakin tidak mempan di gaslight. Sekalipun orang gaslighting di iya in banyak orang untuk menguatkan manipulasinya, kita tau the turth, our truth, dan tidak membuat diri mempertanyakan kewarasna diri dan menggerus self worth.