Thursday, August 28, 2025

Beda level (2)

Kasus 1. Batalin janji
Si A gak ngabarin, pas ditagih malah marah, blamming kita, playing victim, dan tidak ada resekejul. Jikapun ada resekejul, akan dibatalin lagi.
si B mengabari beberapa jam sebelumnya (karena mepet), menjelaskan alasannya, memberikan pilihan jadwal lain. Dan sata orang kecewa/ kesal, ya terbuka santai menerima kosekuensinya tanpa defensif atau ma;ah menyerang.

Kasus 2. Being vulnerable and asertif.
Si A merasa diserang, penuh pembenaran dan defensif, malah jadi nyerang dengan intention menyakiti. Alhasil tidak terjalin komunikasi, pemahaman, dan solusi bersama.
Si B berterimakasih "makasih ya sudha terbuka dan bilang", lalu being space "apa lagi yang kamu kesal sama aku", "menawarkan solusi "apa yang kamu mau?". Dilakukan, case closed, dan tak pernah berulang.

Kasus 3. Salah paham
si A defensif, menyelamatkan diri, merasa dirinya benar, gaslighting orang, manipulatif.
Si B, menderngarkan perspektif dan asumsi pihak lain, memahami, tidak defense amupun menyerang. Lalu mengkomunikasikan maksdunya dan ada rekonsilisasi. 

Cara orang merespon, handle masalah, melihat masalah, menyelesaikan masalah, ternyata dipengaruhi banyak hal. Mulai dari latar belakang, pendidikan, pengalaman, lingkungan sosial, pergaulan, kedwasaan, kematangan mental, daya nalar, IQ, spiritual, wawasan, kepekaan, dll. Termasuk levelnya masing-masing.

----
Kadang ada orang melihat suatu masalah sepele dan menyepelekan. Ya bisa jadi masalah itu sepele, atau dirinya yang tak mampu melihat the core of that situation and problem, atau ya memang ignorant dan kurang wawasan aja. 

Beda Level (1)

Ada beberapa unpleasant experience dan emotion yang terus terjadi berulang. 
Setiap curhat ke orang terkait hal itu, orang-orang yang dicurhati merespon "kayaknay mereka kurang wawasan, jadi gak paham sikap kaya gitu berdampak apa, gak paham juga cara merepon hal seperti apa", "mereka beda level, kalo kamu kan sering pindah-pindah tempat, merantau, berbaur sama banyak jenis orang baru, mandiri dari kecil. Sedangkan mungkin mereka lingkungannya ya ity-itu aja", "latar belakang pendidikannya beda ya, S1 dan S2 cara berfikirnya beda, cara melihat masalahnya beda, cara padangnya beda. pendidikan tuh berpengaruh loh dan sepertinya memang beda aja levelnya", "udah lah gak usah dipikirin, gak penting, beda level. fokus aja ke kerjaan kamu".

Berbulan-bulan tidak paham omongan mereka. Aku malah terus fighting, menjelaskan, berjuang, dan berusaha to make it better. Sampai di momen saat sedang ngobrol dengan orang kantor, mendadak sadar "oooo bener ya emang beda level". Mereka tidak mampu melihat masalah, sehingga solusi yang mereka lakukan pun tidak tepat dan didnt works. Bahkan jadi blamming dna labeling akunya yang bermasalah dan masalah hanya karena aku sendirian minoritas, dan mereka tidak mampu "melihat" apa yang aku "lihat". 

Semenjak itu, badanku spontan melakukan hal-hal penting. Termasuk jadi stop interaksi duluan, konfrotasi, mejelaskan, gifing knpwledge, sharing expereince, dan hal-hal yang selama ini memang tidak perlu diberikan ke orang yang tidak mampu menerima dan paham. Alih-alih bisa menerima, saling kontribus, malah diri yang dianggpa ini itu. 

Ternyata "beda level" bukan bentuk arogansi dan kalimat menyenangkan diri. 
Alhamdulillah akhirnya paham. Bismillah.

Wednesday, August 20, 2025

20/08/2025

Penderitaan terbesar adalah:
Saat diri bisa melihat semuanya; melihat hingga ke dalam hingga akar; mampu membaca dan mengidentfikasi masalahnya; tau solusinya; mau berkontribusi; mencurahkan seluruh waktu, energi, perhatian, kemampuan, semuanya untuk mengubah itu semua menjadi lebih baik; tapi hal tersebut tidak mau berubah, tidka mau menerima kontribusi, tak sadar. 

Ketika kita bisa melihat lebih dari apa yang pad aumumnya terlihat, memiliki hasrat untuk menolong melebihi menolong diri sendiri, melihat semua kekacauan dan mengambil itu semua sebagai masalah diri hingga diri yang menderita tanpa ada perubahan yang hal itu mampu terima dan terjadi. 

I am really sorry to myself,
to be too aware, too sensitive, too care, too nurture, too sacrifice for people/ place/ things that mutual or reject us. Sorry for abandonment you dear myself, for everything org people that really important to me. 

20/08/2025

I’m truly happy to see friends getting married, launching books, starting new businesses, moving to America, receiving promotions, buying property, and achieving their dreams. Deep down, all of this reminds me to focus on what really matters and stay committed to the process. Thank you for sharing such inspiring and eye-opening news. Bismillah.

Sunday, August 10, 2025

2/8/25

My soul full of love, joy, and gratitude.
Thank you for invitation and having me.

Happy birthday, Arthur!
All the best for everything!

 
 

Flashback, 3 years ago (2022) I moved to Jakarta, without family, friends, circle, just alone by myself. I asked my self "how to make friends at this age?". Suddenly one of my  acquaintance told me about this community. So I joined and still have not friends wkwk. Beside that, I am so grateful to meet all of these people. I felt sense of belonging; experience love, warm, kindness; learned many things, to love myself, to more open to others, to trust, to communicate better, to create healthy boundaries. Its mean a lot for me. I am so grateful to know Arthur. His maturity, kindness, energy, so wonderful.

Wednesday, August 6, 2025

Gratitude

Energy never lies. We can feel it in every action, word, situation, condition, place, object, and person long before the mind begins to process it.

Last weekend, I attended an event where I met many people from different walks of life. At one moment, a guy complimented my dress: “You are so gorgeous". I smiled, said thank you, and started explaining why I chose to wear that dress. But before I could finish, he gently cut in and said, “Just own it". I instantly stopped my word and got the energy behind that. The energy was uplifting, encouraging, and deeply empowering. It hit me in a way that made me pause and reflect.

Before leaving the event, I said goodbye to everyone, waving my hands and giving hugs. When I hugged one of the guys, his embrace carried such warmth and kindness that it caught me off guard. In that moment, I felt like crying, his energy was so gentle, it touched something deep in me.

On the taxi ride home, I cried. Tears flowed as I began to realize so many good things I had never truly noticed before. There was a deep sense of gratitude and tenderness behind those tears, like my heart was finally catching up with everything I’d been feeling.