Beberapa hari ini buka threads, muncul postingan tentang kontra LPDP untuk semua. Ada yang menganggap anak orang kaya tidak layak untuk mendapatkan beasiswa LPDP. Padahal beasiswa mengejar kualitas juga, tidak sebatas kurang mampu atau miskin. Stop minta privillage bantuan dan kemudahan biaya karena miskin. Selama diri berkualitas, mau miskin ya jalan selalu ada. Tidak akan pernah takut tersaingi oleh orang yang dianggap kaya dna jauh lebih mampu. Disini kompetisi kualitas personal, bukan jual inferiority "miskin berhak dapat beasiswa, anak orang kaya tidak berhak". Heyyyy anak orang kaya itu yang kaya orang tua nya, sama aja yang miskin itu orang tuannya jg. Secara individu ya mereka sama, tidak ada masalah jika diadu kualifikasinya.
*disclaimer, bukan anak lpdp atau anak orang kaya.
Sedikit cerita,
Jaman sekolah 1990-2000an, itu ada sekolah unggulan yang isinya benar-benar tersaring. Saya pengejar lingkungan, berambisi sekali masuk sekolah bagus biar punya lingkungan baik (kompetitif, pinter-pinter, fair, dan sehat). SD masuk sekolahan yang dianggap bagus di tempat itu, saat masuk SMP unggulan,a da yang tanya "kamu dr SD mana", saat saya jawab SD X, komen orang-orang "wah itu sekolah anak orang kaya smeua ya". Disitu mendadak sadar, iya juga ya, teman-teman sayang dari keluarga yang sangat mampu. teringat jaman hip suatu sepatu, saya merenggek ke ortu minat dibellin. Ortu komen "itu harga sepatu sebesar gaji satu bulan ibu". Tapi saya bisa bertahan di sekolah itu karena secara otak, kemampuan, kualitas diri baik, dan mampu bergaul dengan baik juga, tidak merasa inferior atau harus ngikutin demi bisa diterima. Karena fokusnya ke pengembangan diri.
di SMP dan SMA yang dianggap bagus, lingkungan lebih heterogen dan tetap memiliki satu kesamaan. Saya tumbuh cukup baik dan ter nurturing selama sekolah. Karena filter yang baik akan menjaga kualitas orangnya yang masuk, sehingga lingkungan pun terjaga. Saat kuliah masuk ITB, saya sangat bersyukur sekali (rasa syukur muncul justru setelah belasan tahun lulus). ITB memberikan ruang belajar, tumbuh, dan pengembangan diri yangs angat baik, aman, dan sehat (personally). Saya bisa bergaul dengan beragam jenis orang (suku, etnis, latarbelakang keluarga, level sosial ekonomi, dll) dan itu membuka perspektif tersendiri; ITB tidak membungkam dan mengecilkan, sifat kritis saya terfasilitasi dengan baik disana; dan beruntung masuk ke kelas yang telat 3 menit kerjana 1 semester kita dibuang dan ngulang 1 tahun, sifat komitmen akan waktu dna displin saya dihargai disana. Ya pengalaman orangs ekolah akan berbeda tergantung personality nya masing-masing, tidak bisa di generalisir.
Bersyukur sekali dengan sistem pendiidkan di masa itu yang sangat menyaring siswa dan mahasiswnaya berdasarkan kualitas, bersyukur pernah sekolah di lingkungan yang memacu pertumbuhan dan baik. Terimakasih.
Bayangkan sekarang, sekolah bisa bebas diakses siapa saja hanya dengan syarat lokasi tempat tinggal (radius KM). Terlalu banyak keberagaman, range nya pun terlalu jauh. Pengalaman jadi sisten dosen di ITB, ngajarin anak-anaknya lebih mudah dan senneg melihat orang tumbuh karen amereka sekolah karena keinginnnya dna punya motivasi tinggi. Saat menjadi dosen di bbrp kampus swasta apalagi yang baru, itu ada anak yang pinter, bisa, bahkan banyak juga yang dibawah rata-rata, mengajarnya pun sulit dan tidak bisa sekeras di PTN. Dan tidak sedikti dari mereka kesadaran dan motivasi kuliahnya hanya sekedar menjalankan kehidupan, disuruh ortu, dan ya sekolah saja. (tidak mengeneralisir ya).
Dan saat bekerja, terasa sekali bedanya.
Ohya, nasib orang setelah lulus berbeda-beda, banyak variable. Dari mulai keadaan ekonomi, keluarga, perputaran hidup, masalah personal, ya benar-benar nasib. Karena bekerja tidak hanya butuh kualitas diri, ada peran opportunity dan jalan hidup juga. Lanjut bahas kantor. Nah saat bekerja karena himpitan uang; semua idealisme, standard ideal dilepas. Masuk kantor yang isinya orang-orang dari kampus-kampus yang gatau dimana dan baru denger. Dan itu budaya yang tercipta jadi sebatas for surive. Tidak ada diskusi intelektual, tidak ada jiwa-jiwa kritis dan haus akan perubahan, tidak ada motivasi tinggi to achieve more dan tumbuh, bahkan banyak yang hanya peduli sama diri sendiri even di level manager/ team leader. Belum lagi sistem dan lingkungannya sangat mematikan jiwa, menahan pertumbuhan, merusak integritas, dan sangat manipulatif abusif. Jauh dari rasa kepedulian terhadap sesama, nurturing, encourage others, growth. Pada akhirnya yang waras dan sehat yang resign. Dan orang-orangs eperti itu terbentuk sudah dari kecilnya, masa sekolahnya, lingkungan rumah, tumbuh, sekolah, dan pergaulannya.
Jadi lingkungan sangat penting...
Menjaga kualitas orang-orang dalam suatu ekosistem pun penting.
Apalagi buat orang-orang kaya air yang sangat absorbing, seperti cermin yang memantulkan tempat ia berada. Adaptasi bukan berarti harus menjadi sama dan mengecilkan atau "mematikan" diri hanya untuk diterima dan memiliki pola yang sama.
No comments:
Post a Comment