Showing posts with label ceritasore. Show all posts
Showing posts with label ceritasore. Show all posts

Saturday, October 12, 2019

Penerimaan

Stasiun padat berisi, hilir mudik orang memenuhi ruang dengan gema pengeras suara bercapur teriakan manusia satu sama lain memanggil dan mencari.

Aku duduk dalam diam memperhatiakn orang yang berlalu lalang, mencari seorang sosok temannya teman yang akan pergi bersama. Tiba-tiba ada mata yang saling bertemu, ada perasaan sepertinya ini orang yang dicari, ternyata benar. Namanya Vilda, teman satu kampusnya Ratih. Ratih adalah seorang yang mengantikan ku di kantor setelah resign. 

Kami bertiga masuk ke dalam kereta. kereta bisnis yang seperti kereta ekonomi. Dengkul saling bertabrakan antar penumpang di depan. 8 jam berlalu, sampai di sebuah stasiun pagi buta dengan udara dingin nan lembab. Kota yang terkenal dengan makanan gudeg nya. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah bude nya Ratih.

Sampai rumah, kami bebersih, lalu bersiap tidur mengganti waktu tidur yang hilang sepanjang perjalanan yang habis dipakai mendengarkan seorang bapak di depan kami bercerita panjang dan menahan rasa tak nyaman badan duduk berjam-jam. 

Mata baru terpenjam, alarm telepon genggam milik Vilda berbunyi. Aku yang sangat lelah dan baru hampir tertidur mendadak kesal, satu bantal terlempar keras menuju Vilda oleh tanganku. Vilda dengan gesit mematikan alarmnya. Lalu kami bertiga tidur.

Bangun tidur, bersiap-siap untuk jalan-jalan. Vilda tak membahas soal bantal melayang dengan kasar atas perbuatanku. Kami tak membahas dan tak mempermasalahkan. Lalu teringat, jika kejadian itu terjadi pada orang lain, mungkin orang akan marah, akan membalas, akan bermusuhan, namun tidak dengan Vilda. Ia menerima dan bertoleransi terhadap sikapku yang memang tidak baik. Disitu ada sebuah penerimaan, penerimaan terhadap keburukan orang lain, penerimaan terhadap keadaan seseorang, sebuah toleransi dan empati.

Thursday, September 26, 2019

Baba

Sebuah ruang penuh manula menunggu giliran terapi dan dokter. Ada sebuah ruangan kecil di dalam ruangan itu, ruangan orang berkonsultasi dan diperiksa. 

Pintu ruangan terbuja dengan teriakan sang dokter memanggil pasiennya. 

Masuklah si Baba.
Baru membuka pintu, sang dokter penuh senyum dengan posisi duduk condong ke depan berkata “kenapa?” Dengan suara halus penuh kasih bagaikan seorang ayah yang menanyakan “kenapa” ketika anaknya nangis habis jatuh dari sepedah. 

Baba sadar apa yang dimaksud oleh dokternya. Ia sadar sang dokter bertanya tentang perasaanya, perasaan sedih yang ia ceritakan sebulan yg lalu lewat pesan tertulis. Ia mendadak sedih, ingin menangis. Sedih karena selama ini tak pernah dapat kasih sayang dan empati orang tua seperti itu. Namun, Baba menahan perasaannya, mengendalikan ekspresi wajahnya. Dan berkata “ini dok kaki saya sakit-sakit lagi”.

Sang dokter kembali berbicara “kemarin teman saya menelepon, katanya sedang sedih. Saya tanya kenapa, dia tak menjawab”. 

Lalu Baba kembali menarik pembicaraan pada sakit kakinya “dok, ini sakitnya dari pinggang”.

Sang dokter tak mengubris, kembali bercerita “teman saya itu punya trauma dari sd, sudah 35 tahun traumanya masih dibawa-bawa.”

“Dok, saya tidak diperiksa?” Ungkap Baba.

Sang dokter pun berhenti sekejap lalu berkata “ya boleh deh”. 

Lalu baba diperiksa. Setelah itu kembali duduk, sang dokter pun kembali bercerita. Namun keadaan semakin emosional. Baba memutuskan untuk cepat pergi dari ruangan tersebut sebelum air matanya tumpah. Dokternya paham, dan berkata “kamu kalau ada apa-apa, chat saya aja” sambil ikut meninggalkan ruangan tersebut. 

Semakin sedih lah hati Baba. Sudah dapat empati dengan pertanyaan “kenapa”, sudah dapat insight dari cerita dokter tentang temannya, ditawari kasih sayang juga. Dan kesedihan semakin mendalam ketika ia menyadari bahwa ia mendapat kasih sayang justru dari orang lain, orang yang dikenalnya di rumah sakit, tak ada hubungan darah, tak ada urusan personal apapun. Dikala ia tak pernah dapat empati tersebut dari orang tua nya sendiri, orang pertama yang ia temui saat lahir di dunia, orang yang ada hubungan darah. 

Sepanjang perjalanan pulang, Baba nangis. Padahal dokternya biasa saja, baik terhadap pasien, senang menolong. Namun untuk keadaan Baba, itu menjadi hal yang tak biasa, terlalu intense dan emosional. 
——

Semesta memang adil.
Selalu memberikan kebaikan.
Hanya kadang justru diri yang tak siap menerima kebaikan itu, entah karena merasa tak pantas, tak berharga, tak mampu, terbayang-bayang kata-kata negatif orang tua abusif “kalau keluarga tak mampu menerimamu, apalagi orang lain”.

Padahal kenyataannya, banyak orang yang sayang pada dirinya, banyak orang yang mau menerimanya, banyak orang yang peduli. 
——

Untuk siapapun yang merasa kamu tak pantas dicintai, tak pantas disayang, tak ada yang mau menerima, berhentilah percaya itu semua. 

Kamu pantas disayang, dicintai, dan diterima. 
Jika tak dapat dari orang tua dan keluarga, semesta luas sekali, akan banyak tempat dan manusia yang bisa cocok dan sayang padamu. 

26/9/19

Suami tukang selingkuh dan ngutang. Istri bertahan berharap suaminya akan berubah. Realitanya terjadi berulang dan makin memburuk. Dan istri tetap bertahan dengan harapan suatu kelak suaminya berubah. Hingga kerja keras menggumpulkan uang, membawa pergi haji dengan harapan pulang membawa perubahan pada suaminya. 

Lalu, suaminya berubah? 
Tidak.

Tetap hobby main, hobby ngutang, hobby foya2. 

Istri tak berhenti berusaha, terus berdoa dan berharap suaminya berubah. Dengan segala banyak penyangkalan suaminya buruk, dengan segala banyak pembenaran untuk bertahan, dengan segala citra keluarga baik yang terus di tampilkan di depan publik. 

Tanpa sadar puluhan tahun telah lewat, ia terjebak pikiran dan khayalannya sendiri untuk merubah suaminya hingga lupa untuk merawat anaknya dengan baik, bahkan menanamkan segala sifat delusi dan kondependesi terhadap anaknya. Anaknya menjadi seperti dirinya. Dan pola berulang. 

Berakhir sia2. Berharap manusia berubah dikala yang bermasalahnya pun tak sadar dirinya bermasalah ataupun mau berubah. 

——
Lalu memperjuangkan keluarga besarnya bagaiman dewa. Semua yang susah dibantu seolah-olah tanggung jawabnya. Empati terhadap keluarga besarnya tinggi sekali karena merasa ia sudah hidup puluhan tahun bersamanya. Sedangkan terhadap anaknya, acuh, tak ada empati, ataupun hubungan mendalam hati ke hati. Karena merasa “siapa kamu? Kamu gak lebih lama kenal dengan saya dibanding keluarga besar saya”.

Ibunya menelepon kesepian di kampung, langsung di datangi, meninggalkan anaknya yang sedang sakit sendirian.

Keluarganya lagi susah, di tolong, dikasihani, anaknya sedang berjuang keras dan kasepian diabaikan.

Hingga akhirnya ia melihat bahwa keluarganya hanya memanfaatkan, bahwa keluarganya hanya peduli dengan keluarga inti masing-masing, kalau keluarganya tak sebaik setulus imajinasinya, kalau keluarganya tidak seberusaha keras menjaga hubungan dan menolong seperti yang ia sering lakukan, bahwa hubunganya tak seimbang antar dua pihak. Dan penyangkalan pun terjadi, tak mampu melihat realita, tenggelam dalam kesedihan dan imajinasi kebaikan keluarganya yang biasa aja namun diagungkan. 

———
Sebagai manusia, perlu belajar melihat sesuatu sebagaimana sesuatu itu secara nyata, tak dibumbui harapan ataupun ilusi. Ada kalanya perlu diperjuangkan, ada kalanya tau kapan harus berhenti. Berhenti demi kehidupan yang lebih baik. Memperjuangkan orang yang tak mau berjuang hingga merusak banyak jiwa lain yang patutu diperjuangkan itu sebuah penganiayan, alangkah tidak bijaknya. 

Disini butuh batas. Batas kapan merasa cukup untuk mengakhiri sebuah hubungan beracun. Setelah 3x di selingkuhi kah? Setelah 3x rumah di gadai suami tanpa izin hanya untuk foya2 kah? Setelah 3x dipukul kasar kah? 

Batas. 
Sebuah upaya untuk menjaga diri tetap waras. Sebua upaya untuk menghargai diri sendiri.
Sebuah upaya untuk menciptakan hubungan yanh sehat.

Manusia tidak bisa menyenangkan semua manusia. Ada kalanya dibenci, ada kalanya di tidak sukai, ada kalanya di caci, biasa saja. Selama tidak merusak orang lain dna merusak diri sendiri. Orang mau sepakat/tidak, senang/tidak, ya tak apa. 

——
Selama diri tau diri seperti apa, apa yang dimau, apa yang dikejar, apa yang dikerjakan. Yausudahlah orang mau berbicara apa.
Nilai diri tak ditentukan oleh komentar orang, karena diri dibenci di suatu tempat, bisa jadi di tempat lain malah disayang banyak orang. 

——
Seandainya kamu tahu seberapa rusaknya kamu, seberapa banyaknya luka batinmu, seberapa banyaknya issue masa lalu yg tak terselesaikan, seberapa besarnya kamu merusak hidup anakmu lewat kurangnya perhatian, empati, menghancurkan kepercayaan diri, keberhargaan diri, dan menanamkan perasaan tak pantas dicintai hanya dengan sibuk mengurusi orang lain hingga kurang memenuhi kebutuhan emosi anak dan menanamkan kata-kata baik hingga anak tumbuh dalam perasaan kosong, tak berharga, tak mampu, hingga dihinggapi banyak penyakit mental merusak jiwa dan pikirannyaa hingga rusak masa depannya dikala potensinya luas biasa. Mungkin mati pun tak akan menghilangkan rasa bersalahmu. 
——

Dan saat anaknya sadar apa yang terjadi, ingin berusaha menjadi normal dan hiduo bahagia. Biarkan. Berhenti menanamkan rasa bersalah, berhenti bermain peran sebagai korban, berhenti menjadi manusia paling menderita dengan mengngkapkan segala perjuangan dan harapan imbalan yang tak sesuai imajinasi, berhenti menularkan sakit jiwamu. Jadikan sebagai bahan renungan. Renungan untuk menjadi manusia yang terus belajar menjadi baik. 

Jika tak mampu memperbaiki, maka jarak hal terbaik yang dapat dilakukan. Demi memutus rantai dan pola beracun.