Saturday, August 21, 2021

21/8/21

Dari satu lingkungan ke lingkungan lain, dari satu tempat ke tempat lain.

Dari banyaknya lingkungan yang pernah ku temui, singgah, dan hidup bersama, mulai dari keluarga, akademik, pekerjaan, komunitas, traveling, sosial, dan segala macamnya, ada hal yang sama dari yg kuamati, yaitu: orang hanya peduli dengan dirinya sendiri dan circle nya.

Saat berada di komunitas suatu modalities, (misal) tentang awareness, mereka hanya peduli pada pengembangan dirinya masing-masing dan orang terdekat dalam komunitas yang merupakan circle nya. Mereka tidak concern bahkan tidak peduli dengan issue kesehatan mental, pendidikan, sosial, atau hal-hal di luar ketertarikan, pemahaman, dan circle nya. 

Untuk lingkungan satu darah, atau yang biasa di sebut keluarga pun konsep dan sistemnya sama. Orang lebih mementingkan keluarga inti daripada keluarga besar, orang terdekat lebih di bela dan di bantu meski sama-sama keluarga besar. Dalam keluarga inti pun, orang lebih peduli dengan kenyamanan dan keamanan dirinya sendiri. 

Pengamatan sejauh ini, orang cuma peduli dengan dirinya masing-masing. Bahkan orang berbuat baik pun untuk kebaikan dan kepentingan dirinya sendiri. Agar dirinya dapat pahala, agar dirinya dapat karma baik, agar disukai orang, agar urusan duniawinya mudah, agar merasa diri berharga karena bantu orang lain, orang minta maaf agar terhindar dari masalah dan mengurangi perasaan guilty nya, semuanya berlabuh untuk dirinya sendiri. Apakah itu yang dinamakan kepedulian dan cinta terhadap sesama? 


Why people just concern about themself and their circle?
Why do people cant love each other sincerely?

Saturday, August 7, 2021

7/8/21

 *Disclaimer: Postingan ini adalah opini pribadi, berbagi perspektif, tiak ada tujuan dan niat untuk mejatuhkan suatu profesi atau tentang salah benar. Semoga bs mendapat insight dan di pahami dengan hati.

Sudah satu setengah tahun lebih kita berdampingan dan berbagi hidup dengan covid. Tahun 2020 banyak tenaga kesehatan yang meninggal dalam menanggani pasien covid dan terpapar. Beribu-ribu orang menyampaikan simpatinya, mengangkat derajat para pekerja medis dalam sosial setara seorang pahlawan. Masyarakat bahu membahu membantu dengan menyuarakan himbauan, bantuan APD, hingga memberikan dukungan secara emosional dan moral. Dari fenomena itu, ada hal yang terlihat, yaitu tentang bagaimana suatu profesi di apresiasi sangat oleh banyak orang.

Dari jaman dulu, profesi dokter dan tenaga medis ya mengurus dan merawat pasien. Tidak ada yang berbeda dengan tugas dan kewajibannya di masa lalu dan masa sekarang. Perbedaan yang terjadi saat ini adalah jumlah pasien yang perlu dirawat dan resiko dari kasus penyakit yang ditangani. just it.

Tidak semua tenaga kesehatan itu pahlawan, karena tujuan bekerjanya pun beda-beda. Ada yang karena tugas, kewajiiban, tuntutan profesi, pekerjaan untuk mendapatkan gaji demi keberlangsungan hidupnya, ada yang karena terikat sumpah profesi, ada yang karena terikat ikatan dinas, ada yang memang jiwa sosial dan kemanusiaannya tinggi. Dan dimasa pandemi covid saat ini yang menyerang fisik manusia, tenaga kesehatan menjadi menonjol dan diangung-agungkan. Termasuk profesi di kesehatan mental, seperti psikolog yang mulai terkenal dan membuat banyak masyarakat melek atas kesehatan mental.

Dalam fenomena ini pun, ada sebagian masyarakat yang menyindir para tenaga medis, dan di balas oleh para dokter spesialis terkait butuh waktu berapa lama untuk menghasilkan 1 dokter, dengan kata lain nyawa seorang dokter itu penting krn tugasnya menyelamatkan orang lain. Saat melihat komentar dan respon itu, yang pertama kali disadari adalah tentang arogansi. Kalau mau terbuka dan melihat objektif, semua profesi itu berharga dan tidak mudah. Seorang bankir, desainer, seniman, pengacara, dll, mereka melewati masa studi, praktek, mengerakan kemampuan dan mengembangkan dirinya untuk menjadi seorang ahli di bidangnya. Setiap profesi punya effort nya masing-masing, dan setiap nyawa manusia itu berharga.

Kembali ke bahasan, 
Tenaga medis menjadi naik daun karena keadaan saat ini yang banyak terkait dengan dunia medis. Coba kalau dulu saat tidak ada pandemi, mana ada sanjungan-sanjungan penuh simpati sana sini terhadap tenaga medis, bahkan tidak ada perayaan yang masuk ke dalam libur nasional sebagai peringatan profesinya seperti hari guru. Bahkan guru (profesi) yang dianggap pahlawan pun belum tentu semuanya pahlawan, banyak juga yang jadi guru karena tuntutan ekonomi, ada juga guru yang melecehkan siswanya dan tak bermoral, ada juga yang matre, jadi guru yang disebut pahlawan itu profesinya atau jiwanya? karena ada juga orang yang punya profesi lain, tapi jiwanya "guru", dia mencerahkan, memberikan ilmu, dan menuntun orang untuk berkembang dan menjadi versi terbaik dirinya. 

Ya, saat suatu keadaan membuat seseorang/suatu profesi/kelompok bekerja keras untuk menyelamatkan manusia lain, maka profesi/ orang/ kelompok itu dianggap pahlawan. Jika tidak, maka tak ada apresiasi, simpati, dan empati. Semacam musisi, dianggap biasa saja, tapi kalo ada yang berhasil go internasional dan jadi idola di berbagai negara, orang-orang mulai mengidolakan, memberikan slogan positif, bangga, dan numpang nama. Kalau desainer bisa menciptakan produk yang bisa membantu banyak orang dan meningkatkan perekonomian negara dengan tersebar ke seluruh dunia, mungkin profesi desainer akan dilirik sebagai jurusan yang menguntungkan dan di momen itu pun akan sangat dibangga-banggakan oleh masyarakat. Kalau pemerintah gak punya hutang, tak ada korupsi, pamor PNS pun naik sebagai profesi yang bermartabat dan wah karena menyelamatkan masyarakat dengan menjadi pegawai pemerintahan dimana tugasnya mengurusi negara dari pusat hingga daerah. 

Kadang sesuatu dinilai terlalu kontras, di puja banget atau dihina banget. Dan setiap profesi seperti ada label-label tersendiri dalam benak masyarakat meski tidak semuanya begitu.

Wednesday, August 4, 2021

3/8/21

Bagaimana jika tidak ada yang salah dengan diri?
Bagaimana jika diri memang berbeda dengan lingkungan sekitar?

Masalah muncul saat orang tak mengenal diri, tak mau mengenal, tak mampu melihat potensi diri, dan merasa diri dan hidupnya benar sehingga melihat diri yang berbeda dianggap salah dan bermasalah.

Contoh:
Seseorang lahir dengan bakat menjadi single fighter dan nyaman dengan dirinya sendiri meski dalam kesendirian. Lalu saat lahir, ia diajarkan untuk melakukan sesuatu bersama orang lain, untuk selalu punya teman. Ia mengikuti apa yang diperintahkan care givernya, hingga banyak masalah muncul, ia tak fit in dengan sekitarnya karena berbeda, dirinya yang disalahkan. Ia nyaman sendirian, dianggap aneh dan seolah-olah tidak ada yang mau berteman dengan dirinya, judgment mulai berdatangan mengikis identitas asli hingga diri menjalani hidup berdasarkan identitas yang ditanamkan sekitarnya bukan berdasarkan jati dirinya sendiri.

Lambat laun, ia semakin terpuruk karena sepanjang perjalanan hidupnya, ia selalu sendirian, mengurusi semua hal sendirian, dan semakin merasa cacat tak berdaya karena merasa seharunya ia memiliki support system, akhirnya fokus masalah berada bagaimana ia mampu punya kehidupan seperti orang lain yang akrab dengan keluarga, punya support system, punya teman, ada teman perjalanan, mampu bergantung dengan orang lain, dll.

Munculah pertanyaan:
"Mengapa diri selalu berada dalam kesendirian?"

Bagaimana jika diri terlahir sebagai single fighter yang sebenarnya sangat mandiri dan tidak bermasalah sendirian. Semesta sudah kasih petunjuk untuk kembali ke jati diri, untuk mengenali power diri, dengan memberikan masalah dan membuat orang sekitar meningalkan diri dalam kesendirian. Dengan diri mampu bertahan hidup sampai sekarang dengan segala masalah dan kesendirian, tandanya diri mampu. Aknowledge dan terima kalau diri kuat, mandiri, mampu, dan sebagai single fighter.

Contoh lain:
Mayoritas orang menerima informasi (nge-sense) melalui 5 panca indra nya dna diolah berdasarkan nalar logika. Saat seseorang lahir dengan kekuatan batin yang tinggi, intuisi yang tinggi, mampu nge sense dan menerima informasi dengan cepat sebelum ke sense panca indra (terbukti), maka dianggap aneh, diragukan, diremehkan, dianggap tidak valid, dianggap suudzon, dianggap ini itu. Hingga ia merasa dirinya salah, gak bener, bingung sendiri, tidak mempercaya dirinya sendiri, yang berakhir jadi kacau. Dipaksan untuk nge sense lewat panca indra, diakala ia punya antena yang jauh lebh cepat dan tajam untuk menerima dan mencari informasi. 

Ia diperlakukan seperti itu, hanya karena ia berbeda dengan mayoritas dan mayotitas tidak mampu memahami cara kerja otak, sistem ia menerima informasi, bahkan nalarnya tak mampu memahami apa yang dialami dan dimiliki oleh orang tersebut. 

Butuh waktu lama dan perjalanan yang tak mudah untuk kembali ke jati dirinya, untuk get in tpuch dengan ability nya dalam nge sense sesuatu, apalagi kalau dalam prosesnya ketemu/ di bimbing sama orang yang mirip dengan mayoritas yang telah merusak dirinya. Alih-alih kembali ke jati diri asli, malah semakin rusak, bingung, dan jauh dari nature nya.

Monday, August 2, 2021

Ada yang berubah #1

Waktu kecil, aku menganggap semua hal itu harus diusahakan dan keberhasilan sebanding dengan kerja keras. Prinsip itu aku pegang dan lakukan dari tahun ke tahun. Aku selalu mendapatkan apa yang aku inginkan dan usahakan. Semua aku catat dan semua berjalan lancar sesuai jadwal dan target. Hal ini membuatku semakin yakin dengan konsep keadilan sebuah usaha dan hasil. 

Hingga suatu ketika, ada kejadian diluar nalar dan kebiasaan. Aku tak mendapatkan apa yang diusahakan, rencana hidupku berantakan tidak sesuai jadwal yang dibuat. Sempat frustasi hingga depresi, kesal dengan diri sendiri, menyalahkan diri sendiri. Hingga semakin terpuruk dengan keadaan itu sampai kehilangan tujuan hidup dan merasa semua hancur berantakan.

Lambat laun, aku mulai belajar melepaskan kegagalan yang terjadi, mulai menerima ada hal-hal diluar kontrol manusia, mulai belajar menikmati setiap momen dan proses hidup. Di saat itu pun, aku mulai belajar menyayangi diri sendiri, memaafkan diri, menurunkan ego, menurunkan fungsi otak logikaku, lebih ikhlas menjalani hidup sebagai mahluk Tuhan yang sejatinya semua hal yang terjadi di dunia adalah atas izinNnya dan menyakini semua yang terjadi adalah hal terbaik untuk saat itu.

Untuk orang-orang yang terbiasa hidup rapih, penuh tujuan, pekerja keras, disiplin, berambisi, bukanlah hal mudah hidup dalam ketidakpastian dan membutuhkan fleksibilitas yang tinggi. Pada akhirnya, pembelajaran yang diambil adalah tentang bagaimana menikmati hidup.