Thursday, July 11, 2019

Manusia #1

Sudah 6 bulan bolak balik di rumah sakit hampir setiap hari, merhatiin banyak hal.
sampe di momen,


Dokter pergi ke rumah sakit untuk kerja,
kerja untuk mendapati uang untuk nafkah keluarganya
kerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya secara pikiran, sosialisasi, aktualisasi
kerja untuk menolong orang demi memenuhi kebutuhan batinnya


Perawat pergi ke rumah sakit untuk kerja,
kerja sebagai rutinitas dalam kehidupan
kerja untuk mendapati uang untuk survive di dunia
kerja untuk menjalani tugasnya.


Resepsionis, satpam, farmasi, petugas bpjs, petugas kantin, penjaga parkir,
cleaning service, office girl/boy, semua datang untuk kerja.
kerja untuk memenuhi kebutuhan duniawi
tuntutan kebutuhan diri, keluarga, sosial
menjalani tugasnya tak lebih dari itu.


Pasien datang untuk berobat
berobat demin sembuh
berobat untuk bertahan hidup
berobat untuk memenuhi kebutuhan dirinya yang kesepian.

Setiap orang datang punya tujuannya masing-masing
dan ironisnya, tak lebih dari memenuhi kebutuhan dirinya, keluarganya.

Fokus menjalani hidup untuk bertahan hidup.

Apa mereka peduli dengan orang lain?
Saat menolong memberikan kebahagian untuk dirinya, 
Saat merawat memberikan rasa manfaat untuk dirinya merasa berharga,

Saat menyelesaikan tugas memberikan kelegaan bagi dirinya untuk merasa aman, aman dari penilaian negatif, aman dari tugas terbengkalan, aman dari peneguran, aman untuk dapat lanjut bekerja, aman untuk finansialnya, aman untuk dirinya.

lagi-lagi, semua dilakukan untuk dirinya.
bukan murni untuk pasien, bukan untuk perusahaan, bukan untuk kemanusian, bukan untuk cinta universal. Dilakukan secara transaksional, untung rugi, dan demi dirinya sendiri.
ini baru potrait di rumah sakit, memang tidak 100%nya seperti ini.


Lalu kuperhatikan, adakah yang benar-benar tulus? yang benar sayang terhadap sesama atas dasar cinta bukan kasihan? yang benar-benar merawat menolong atas dasar panggilan jiwanya demi orang lain yang tak dikenalnya? yang benar-benar mau hingga mengorbankan diri demi keselamatan orang lain?

Semua dilakukan atas dasar sistem, aturan main, yang dibungkus dalam kata hak dan kewajiban, untuk mejaga keseimbangan , hingga semua pihak MERASA tidak dirugikan. karena kebanyakan manusia ingin untung, ingin aman, ingin nyaman. Semua cari aman.

Kadang ku bertanya,
adakah dokter dan suster yang merawat pasiennya penuh kasih seperti ia menolong dan merawat dirinya sendiri?

Adakah petugas dan karyawan yang bekerja murni atas dedikasi dan loyalitas pada perusahannya?
atau banyak manusia pada umumnya memang berharap timbal balik dan menghitung-hitung untung rugi untuk dirinya?


Rumah sakit tak lebih dari sebuah bisnis dan semua yang ada di dalamnya tunduk pada sistem.
Kadang kalau merhatiin lebih dalam, suka sedih.  Sebenarnya, orang aware sama apa yang dilakukannya kah? sadar bahwa dirinya berada dalam sebuah sistem kah? sadar bahwa realita hidup membuat manusia hidup dalam comfort zone nya kah?


Kalau dalam sebuah jalanan, orang sibuk mengendarai kendaraan masing-masing, sibuk menyebrang, sibuk jalan, marah saat macet-macetan, semua hiruk pikuk dibawah sana. Tapi adakah orang yang mau keluar dari situ dan naik ke atas gedung tinggi untuk melihat apa yang sedang terjadi di bawah sana? Dan saat bisa melihat dari sudut pandang lebih jauh, sudut pandang burung, ada pemahaman yang di dapat yang tidak akan pernah disadari jika terus-terusan berada di jalanan dan sibuk dengan tujuan dan kendaraan masing-masing, if you know what i mean.

Realitanya, banyak orang yang lebih senang tenggelam alam rutinitas dan zona nyamannya.
Sejauh ini, ketemu banyak orang, sedikit yang berani keluar dari rutinitas dan zona nyamannya untuk melihat lebih tinggi dan mendapati pemahaman yang lebih luas. Manusia terlalu takut untuk merasa tak nyaman, terlalu takut untuk keluar dari keteraturan, terlalu takut untuk berbeda, terlalu taku untuk mengambil resiko, terlalu takut untuk melihat kenyataan.

Saturday, July 6, 2019

Lari

Lari dari perasaan sendiri
Lari dari masalah
Lari dari ketidaknyamanan
Lari dari kenyataan
Lar dari kebenaran
Lari dari diri sendiri.

oh dear, how pathetic people.
Terjebak dalam ketakutan dan ilusi.
Hidup dalam sistem turun temurun.

Rumah

Rumah, tempat berlindung.
Rumah, tempat rasa aman ada.
Rumah, tempat merasa nyaman.
Rumah, tempat diri merasa diterima.
Rumah, tempat kembali saat diri hancur.
Rumah, tempat cinta ada dan hadir.

Sayangnya, tidak semua orang memiliki rumah.
Tak merasa dipahami, disalahpahami, bahkan disalahkan.
Tak mendapati keamanan, bahkan kecemasan dan tekanan.
Tak diterima sebagaimaan diri aslinya, bahkan penuh penilaian dan tuntutan.
Tak dicintai tulus, semua cinta datang bersyarat.

Sayangnya, setiap manusia membutuhkan rumah dalam dunia ini.
Sayangnya, rumah yang dicari tak pernah ditemukan.
Sayangnya, kita terus hidup berumur panjang.

Pada akhirnya, kita perlu menyadari realita hidup di dunia yang penuh ilusi.
Pada akhirnya, kita perlu menguatkan diri untuk terus mampu bertahan.
Pada akhirnya, hanya diri sendiri yang mampu memenuhi itu semua.

Membuat rumah untuk diri sendiri.
self love, self compassion.
i love you dear myself.
kamu aman, kamu dicintai, kamu diterima sebagaimana dirimu, kamu adalah tempat ternyaman dan aman untuk dirimu.
terimakasih telah berjuang selama ini, terimakasih untuk bertahan selama ini, terimakasih untuk terus merawat diri.

Sad

Dari kemarin rasanya sedih banget.
Sedih dan Kecewa.

Berasa anak kecil yang udah ngebayangin disneyland, nunggu berbulan-bulan penuh excitement, tiba2 batal.
Berasa seorang kasih yang menunggu kekasihnya bertahun-tahun taunya ditinggal pergi begitu saja.
Berasa seseorang naif yang dengan mudah percaya dan memberikan sepenuh jiwanya kepada orang yang peduli dengan dirinya pun tidak.

Kadang percaya sama orang yang cuma manfaatin.
Kadang mengorbankan diri, mendahulukan orang yang hanya menjadikan diri keset.
Kadang berjuang untuk orang yang peduli pun tidak.
Kadang mengangap orang sebagai keluarga, dikala ia hanya melihat diri sebagai kenalan.
Kadang mempertahankan dan memperjuangkan sesuatu hanya satu arah.

Dan sampe sekarang masih sedih.
i feel so deep sadness inside.

Wednesday, July 3, 2019

Mungkin orang yang menyimak proses hidup seseorang dan bertoleransi atas keberagaman, dia gak akan pernah mempertanyakan hal yang menjadi keputusan seseorang. Karena di setiap keputusan, ada alasan tersendiri.

Kadang pertanyaan dilontarkan hanya untuk memenuhi rasa penasaran bukan kepedulian.
Kadang kita perlu belajar mana yang perlu dijawab, mana yang dibiarkan saja.

Monday, July 1, 2019

Memutus Rantai

Kita tak bisa memilih terbentuk dari sperma siapa, dalam keadaan seperti apa, mau dilahirkan dari rahim siapa, punya ayah ibu biologis seperti apa (sehat secara fisik kah? sehat secara mental kah? sehat secara psikis kah? sehat secara spiritual kah?).

Anak.
tak minta dibuat,
tak minta dikandung,
tak minta dilahirkan.


Saat sperma bertemu ovum, menjadi embrio, berkembang menjadi janin, lalu lahir sebagai bayi. Makhluk hidup baru ini tak tau apa2, ia lahir ke dunia baru, tak mengenal siapapun kecuali perasaan-perasaan ibunya, kecuali rekaman keadaan lingkungan saat ia di kandungan. Ia lahir dalam keadaan tak berdaya. Butuh cinta, butuh kasih, butuh pijakan, butuh bimbingan, butuh dibantu membuat pondasi yang kuat untuk kehidupannya kelak.

Sayangnya, tak semua orang membuat, mengandung, dan melahirkan anak dalam keadaan sehat dan penuh kesadaran. 

Banyak dalam realita, dua manusia yang sama-sama rapuh menikah atas dasar tuntutan sosial dan berharap bisa saling mengisi satu sama lain tanpa mau membereskan dirinya terlebih dahulu (membereskan trauma-traumanya, menyembuhkan luka batinnya, membenahi mindsetnya, mengedukasi dirinya). Lalu luka batin, insecurity, kemarahan, kesedihan, kekecewaan, pikiran negatifnya ia tularkan ke anaknya tanpa sadar. Seperti seorang ayah yang waktu kecilnya suka dipukul, maka ia akan memukul anaknya saat ia frustasi, saat ego nya tersenggol, saat luka batinnya tersentuh. Ia akan menularkan itu, seperti pepatah hurting people hurt people. Begitupun seorang ibu yang dulunya merasa sedih, kesepian sesederhana pernah dimusuhin sodaranya waktu main saat masih kecil, ia akan memproyeksikan rasa sakitnya ke anak perempuannya (orang lebih muda memproyeksikan dirinya ke jenis kelamin yang sama) dengan membentuk anak perempuannya seperti dia, menjadi orang yang kesepian dan sendirian. Dengan mengabaikan kebutuhan emosional anaknya, gak memberikan empati, melarang anaknya bergaul, tidak boleh mengekspresikan emosi, sampai anaknya mirip dia, rusak dan rapuh.


Lalu sang anak rapuh penuh tularan luka batin orang tuanya, saat ia menjadi orang tua, ia pun akan menularkan luka batin tersebut terhadap anaknya, dan begitu terus dari generasi ke generasi.
Pertanyaannya,

Mau sampe kapan menularkan luka batin dan merusak anak keturunan?
itu anak cuma titipan loh, yang akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat nanti (kalau kamu percaya adanya akhirat dan Tuhan). itu anak punya purpose of life dan karakternya masing-masing loh, kenapa dirusak dan menjadi tak seharusnya?


Lalu, gimana cara mutusin rantai tersebut?
1. Jadilah aware.
Sebelum aware, perlu bergaul dan berada di beragam lingkungan biar bisa melihat dunia dari sudut pandang lain, biar bisa melihat beragam jenis manusia lain, biar bisa sadar sama pola dan skema-skema lain. Jadilah aware, sadar sama keadaan diri, sadar mana sifat asli, mana projection dari orang tua dan lingkungan, sadar sama masalah-masalah diri. Luangkan waktu untuk merenung dan berefleksi.
2. Penerimaan
Menerima segala kelebihan kekurangan diri, terima segala luka yang telah berlalu sebagai bagian diri, terima punya orang tua yang begitu, terima kalau diri adalah produk dari orang tua dan lingkungan dengan segala cacat yang ada. Menerima, tidak menyalahkan siapapun termasuk tidak menyalahkan diri sendiri. Lalu benahi satu persatu. 
3. Self improvement.
Mulai lakukan apa yang menjadi kelebihan diri, jangan takut, jangan cemas. Mulai menjalani mimpi dan purpoe of life diri. Mulai hidup penuh kesadaran, mindfullness, dan  enjoyment.

--------------

Kalau ibumu cerai dengan ayahmu lalu menularkan traumanya dengan bilang laki-laki brengsek hingga kamu anak perempuannya takut menikah, berarti ibuu sedang menularkan luka batinnya padamu. Kamu mau hidup waras sesuai realita, kembali padamu.

Kalau ayahmu pernah gagal, takut dinilai buruk. Lalu semua mimpi dan mentalmu dijatuhkan dengan kata-kata gagal sebelum memulai dikala kamu sangat berkompenten dan mampu, maka ayahmu sedang memproyeksikan ketakutan dirinya atas kegagalan terhadapmu.

Kalau ibumu pernah dikatain tak berharga oleh suaminya, hingga slef worth nya jatuh dan membekas jadi trauma, lalu ia melampiaskan rasa sakitnya dengan bilang kamu gak berharga, maka ibu mu sedang menjadikanmu samsak sampah luka batinnya. Kebayang gak jika ini terjadi saat sang anak masih kecil? hanya ibunya yg ada, lalu di cekokin label-label negatif seperti "kamu tidka berharga", maka ia akan memandang dirinya tak layak, tak berharga, pantas ditindas, pantas dikasari, pantas dapat perlakuan buruk, dan tak pantas bahagia. Padahal anak ini brilian, punya bakat menjadi leader, punya potensi menjadi sociopreneurs yang sukses yang mampu membangun satu negara bahkan lebih. Lalu ia hidup seperti sampah, membuang waktunya, menyia-nyiakan potensinya, hanya karena tidak ada satupun yang sadar dan menyadarkan diri aslinya, dan memberikan feedback positif, lingkungan dan orang pertama yg ia lihat di dunia (orang tuanya) selalu melabeli dirinya sampah tak berharga. Satu manusia rusak, satu generasi rusak.
----------------

Menikah tidaklah mudah.
Jangan menikah hanya karena umur, hanya karena tuntutan sosial, hanya karena kesepian, hanya karena berharap ada yang mengisi lubang kosong dalam diri.

Bagaimana orang yang rusak menarik orang yang utuh?
Bagaimana orang yang rusak bisa membenahi orang yg rusak?

Orang menarik orang sesuai frekuensi dirinya. JIka ingin mendapat pasangan waras dan utuh, jadilah waras dan utuh terlebih dahulu.


Memiliki anak tidaklah mudah.
Bukan sebatas urusan bisa hamil, bisa melahirkan, bisa bayar persalinan, bisa menafkahi, menyekolahkan.

Apakah diri sudah sehat dan siap bertanggung jawab?
Apakah diri sudah punya ilmunya dan terus mau belajar?
Apakah diri sudah siap lahir, batin, mental, psikis, spiritual, untuk merawat titipan Tuhan sesuai jati diri aslinya?

----------------

Sudah cukup segala kebodohan dan ego dalam perusakan keturunan dan generasi.
Sudah cukup rantai terikat, perlu diputus demi melahirkan jiwa-jiwa baru yang sehat.
Sudah cukup segala ilusi society menutupi realita.
Sudah waktunya untuk sadar, bebenah demi kehidupan yang lebih baik.
Mau sampai kapan hidup dalam kotak hitam hanya karena takut keluar padahal diluar jauh lebih bebas, luas, sehat. 

Setiap pertumbuhan dan transformasi butuh ketidaknyamanan. Termasuk ketidaknyamanan saat melihat masa lalu, saat menerima segala luka diri, saat menerima kenyataan, saat berusaha tumbuh dengan sagala rintangan yang ada.

Jadilah manusia yang sadar.