Thursday, April 12, 2018

Sosial Media

Sosial media.
Orang sibuk menampilkan segala hal-hal baik dalam hidupnya. Yang entah benaran sebahagia itu atau memang ikut2an share hal2 yang dianggap positif. Semua tampak serupa, sejenis, dan membosankan (dan tulisan2 ini, mungkin untuk sebagian orang pun membosankan).

Di FB,
Yang jualan sibuk jualan, yang pamer kehidupan sehari2 layaknya artis pun sibuk sendiri, yang ceramah sibuk ceramah meski yang paham akan biasa aja dan yang sudah nyinyir duluan tetap akan nyinyir. yang monolog macem gw pun monolog aja tanpa peduli ada yg baca/tidak. Juat share dan gak peduli respon orang banyak yg suka/tidak. Meski pada dunia nyatanya, banyak orang yang akhirnya mempersepsi secara parsial hanya dari postingan dan menutup hati dan pikirannya untuk benaran kenal, dan ini malah jadi filter tersendiri, karena kapasitas orang jadi keliatan.

Dan postingan2 orang direspon oleh orang2 yg meresponnya, jadi semacam saling merespon yang terlihat saja circle di dunia maya nya siapa saja, di dunia nyatanya belum tentu benaran berteman/ se akrab itu. Like jadi tolak ukur dirinya banyak disukai, diapresiasi, didukung. Kenyataannya, banyak alasan. Entah orang benaran suka, kasian, ada kepentingan lain, atau ikut2an karena banyak yang like. 

Di IG,
Sama aja kaya fb cuma lebih private dan yg di sharing lebih detail. Gak jauh dari daily life, reportase liburan, kesibukan kerja, dan postingan2 yang sudah sangat difilter dan disadari akan membentuk image dirinya di mata viewers seperti apa. Semua serba dikurasi, di filiter. Lagi2 lama2 sangat membosankan.

Kadang banyak pula yang norak (maaf dengan pilihan katanya). 
Saking ingin dinilai baik, keren, wah, semua dogma sosial digunakan. Semacam ada yang pergi ke luar negeri, tetangganya/ keluarganya ikutan sharing. Padahal yg pergi bukan dirinya, mungkin terlalu bangga jadi begitu. Dipikir2, apa pentingnya ya mengumumkan kenalannya lagi jalan2 ke luar negeri/ orang hebat/ sedang melakukan hal yg dianggap wah. Dogma orang sukses adalah yan ini itu, maka ini itu yang ditampilkan. Bahkan banyak pula yang insecure belum menikah dan menjadikan sosial medianya sebagai media promosi dengan menampilakn "kualitas" dirinya. Dengan tampilan mapan, cantik/ganteng, jago masak, jago merawat fisik, dll.

Sosial media, dunia maya lambat laun sangat membosankan. Semua isinya seragam, sejenis. Orang2 banyak yang sangat aware bagaimana orang akan menilai dirinya lewat sosial media, sehingga semua tampilan ditampilkan sebaik mungkin. Sayangnya, ada orang2 yg bisa melihat motivasi orang yang sebenarnya, orang2 yg extreamly observant, sensitif, dan tau aja motivasi asli orang. 

Sosial media (banyak digunakan) sebagai proyeksi sisi postif kehidupan, karena yang ditampilakan hanya yg baik2 saja. Sehingga orang hanya mengkonsumsi hal2 baik. Kebayang gak dampaknya apa? Orang jadi terbiasa melihat sesuatu/ segala hal secara parsial (dari sudut pandang positifinya saja). Dan hal itu malah berakhir kurang baik. Semacam orang nikah yg di share kemesraan menikah. Orang akan mempersepsi bahwa nikah itu bahagia. Padahal kenyataanya tidak. Saat ia mengalami sendiri, terjadi konflik, langsung stress karena tidak sesuai dengan persepsinya. Dan polanya terjadi di bidang2 lainnya. Dari segi pendidikan mislanya, orang sharing foto wisuda, yg like banyak. Pas lg misuh2 gak ada yg like krn dianggap negatif. Padahal 2 hal itu nyata, dialami semua orang dan sekolah memang tak hanya merasakan bahagia wisuda saja namun ada susah2nya juga. Namun kenyataannya, orang lebih senang dengan kabar gembira.

Yang buruk2, jelek, segala kegagalan, pengalaman pahit, trauma, semuanya di keep rapat karena dianggap aib. Padahal itu semua dengan komposisi info yg tepat, bisa di share sebagai ajang untuk saling belajar. Belajar tentang kehidupan dan belajar melihat truth bahwa hidup itu ada pahit buruknya juga. 

Giliran orang ngebuka segala truth, awareness, ditangkap sebagai hal2 yg berbau negatif alias dianggap bukan info/ kabar menyenangkan, orang sibuk tutup mata dan telingga. Gak mau menerima kalau itu hal nyata yg ada.

Lama2 gak paham, kenapa orang lebih senang hal baik, positif, berita gembira dikala mereka pun paham hidup tidak seringan itu dan hanya berisikan sisi2 terang saja. Bagaimana mungkin pohon bisa tumbuh tinggi menjulang ke langit, jika akarnya tidak terus menacap di tanah yang gelap. Sesusah itukah menerima kenyataan bahwa semua hal ada sisi terang dan gelapnya? Sesusah itu kah untuk mengedalikan hal2 terang untuk semakin silau hingga yang melihatnya malah kebakar jadi buta malah berakhir gak bisa liat gelap terang.