Friday, July 20, 2018

Identity

Dari lahir, seorang bayi sudah penuh dengan identity. Identity apa agamanya, apa bangsanya, siapa keluarganya, keturunan siapa, siapa namanya, apa harapan terhadapnya, apa budaya nya, apa suku nya, apa zodiaknya, apa birthchartnya, apa streotype dr setiap identity yg melekat termasuk apa jenis kelaminnya dan persepsi society thdp jenis kelaminnya (semacam perempuan. Berarti pink, lemah lembut, lemah, dll). 

Saat tumbuh, identity pada seorang manusia semakin bertambah. Identity sekolah dimana, alumni mana, jurusan sma nya, kuliahnya, gelar nya, ip nya, siapa teman2nya, siapa pasangannya, apa pekerjaannya, dan identity2 yang tertanam secara sosial, pandangan society, yang ditanamkam oleh orang lain, apa idealismenya, termasuk yang dicari dan di tambahkan sendiri. 


Permasalahannya, apakah identity2 yg melekat itu sesuai dengan realita? Apakah identity2 yg melekat itu membuat diri lebih ringan dan terbang bebas atau malah memperberat langkah dan jauh dari kenyataan yg hanya membuat diri tak berkembang sebagaimana mestinya? 


Semakin tumbuh, semakin banyak lingkungan yg disinggahi, semakin banyak jenis orang yg ditemui, semakin banyak realita hidup yg dialami, sadar tak sadar membentuk ulang identity. Ada identity2 yg akhirnya dilepas, ada yg akhirnya dicari dan ditemukan. Sampai akhirnya menemukan identity yang paling mendekati dengan realita aslinya. 


Cara sederhana mendapat identity asli ya dengan menantang/nge push diri sendiri sampai batas limit, nanti bakal nemuin “ternyata gw bisa, lha ternyata gw gagal”, cek ulang tuh identity nya sesuai gak dgn realita, kalo gak sesuai ya ganti. Misal, awalnya mengidentified diri lemah, pas nyobain sampe limit mau mati taunya diri bisa, berarti identity lemah di ganti dengan identity baru, yaitu kuat. Cara lainnya dengan pergi jauh ke tempat asing yg berbeda dr lingkungan sehari2, observasi, lalu merenung, biasanya jd bs melihat secara clear. Contoh, di lingkungan sehari2 nikah itu umur 24-28. Kalo diatas 28 dianggap tua. Di lingkungan baru, gak ada budaya ttg target umur nikah. Trs direnungi knp bs beda, jd sbenernya esensi nikah itu apa, dasarnya krn apa, untuk apa, sampai akhirnya menemukan identity ttg pernikahan itu sendiri yg cocok dengan realita bukan yg cocok dgn pandangan budaya. Cara lainnya dengan mengenali dan meng explore diri sendiri. Misal, perempuan identik dgn lemah lembut, gak olahraga tinju. Realitanya diri punya energi berlebih dan butuh aktivitas fisik untuk me manage emosi, yg akhirnya perlu disalurkan lewat aktivitas fisik tinju krn paling efisien. Nah identity perempuan tidak main tinju ini jd terpatahkan, karena realitanya ya kata siapa perempuan gak boleh main tinju?Sama2 punya fisik, badan, dan bbrp punya level energi yg berlebih. Dan knp tinju identik dgn laki2? Kalo mau dihubungkan dgn identity lain (identity agama misalnya) ya ajuin pertanyaan memang latihan tinju dilarang? Ya intinya diulik2 sampe jd nemuin sendiri dalam level awareness yg lebih baik. 


Semakin banyak identity yg dipegang, semakin banyak pula terikat dgn banyak aturan, norma, kelompok, nilai, dan segala hal nya. Ya gak ada yg salah, hanya kadang ada identity yg gak sesuai dengan realita alias sudah tidak relevan. Semacam saat SD punya identity berkarya agar bisa beli mainan. Lalu terbawa hingga usia 30. Pdhl secara kemampuan, sudah bs lebih dari sekedar bisa beli mainan, alias bs di improve dan mencari identity baru. Misalnya identity sebagai creativepreneurs. Atau identity muslim wajib berjihad lalu gak dikaji ulang dengan realita asli (bentuk jihad nya) tiba2 jd nge bom bunuh diri dgn alasan jihad. Realita kan jihad gak hrs nge bom kan?


Semakin banyak identity yg lepas dan di lepas, semakin ringan jg langkah diri, lebih dinamis, bisa berubah2 dan beradaptasi dgn mudah. Semudah bergaul dgn orang solat ya solat, bergaul dgn pembunuh ya jd pembunuh, identity nya dilepas dan diubah2 menyesuaikan keadaan yg menguntungkan dirinya untuk survive di suatu lingkungan. Ini cerdas namun bahaya. Kenapa bahaya? Karena tidak terikat apapun dan ujung2nya merugikan orang2 sekitar. Saat tidak punya identity yg sesuai realita, sebenarnya orang sedang hidup dalam dunia nya sendiri dan lost. Dan tanpa sadar (atau sadar) ia mengidentified orang lain sebagai identity nya.