Thursday, September 26, 2019

Baba

Sebuah ruang penuh manula menunggu giliran terapi dan dokter. Ada sebuah ruangan kecil di dalam ruangan itu, ruangan orang berkonsultasi dan diperiksa. 

Pintu ruangan terbuja dengan teriakan sang dokter memanggil pasiennya. 

Masuklah si Baba.
Baru membuka pintu, sang dokter penuh senyum dengan posisi duduk condong ke depan berkata “kenapa?” Dengan suara halus penuh kasih bagaikan seorang ayah yang menanyakan “kenapa” ketika anaknya nangis habis jatuh dari sepedah. 

Baba sadar apa yang dimaksud oleh dokternya. Ia sadar sang dokter bertanya tentang perasaanya, perasaan sedih yang ia ceritakan sebulan yg lalu lewat pesan tertulis. Ia mendadak sedih, ingin menangis. Sedih karena selama ini tak pernah dapat kasih sayang dan empati orang tua seperti itu. Namun, Baba menahan perasaannya, mengendalikan ekspresi wajahnya. Dan berkata “ini dok kaki saya sakit-sakit lagi”.

Sang dokter kembali berbicara “kemarin teman saya menelepon, katanya sedang sedih. Saya tanya kenapa, dia tak menjawab”. 

Lalu Baba kembali menarik pembicaraan pada sakit kakinya “dok, ini sakitnya dari pinggang”.

Sang dokter tak mengubris, kembali bercerita “teman saya itu punya trauma dari sd, sudah 35 tahun traumanya masih dibawa-bawa.”

“Dok, saya tidak diperiksa?” Ungkap Baba.

Sang dokter pun berhenti sekejap lalu berkata “ya boleh deh”. 

Lalu baba diperiksa. Setelah itu kembali duduk, sang dokter pun kembali bercerita. Namun keadaan semakin emosional. Baba memutuskan untuk cepat pergi dari ruangan tersebut sebelum air matanya tumpah. Dokternya paham, dan berkata “kamu kalau ada apa-apa, chat saya aja” sambil ikut meninggalkan ruangan tersebut. 

Semakin sedih lah hati Baba. Sudah dapat empati dengan pertanyaan “kenapa”, sudah dapat insight dari cerita dokter tentang temannya, ditawari kasih sayang juga. Dan kesedihan semakin mendalam ketika ia menyadari bahwa ia mendapat kasih sayang justru dari orang lain, orang yang dikenalnya di rumah sakit, tak ada hubungan darah, tak ada urusan personal apapun. Dikala ia tak pernah dapat empati tersebut dari orang tua nya sendiri, orang pertama yang ia temui saat lahir di dunia, orang yang ada hubungan darah. 

Sepanjang perjalanan pulang, Baba nangis. Padahal dokternya biasa saja, baik terhadap pasien, senang menolong. Namun untuk keadaan Baba, itu menjadi hal yang tak biasa, terlalu intense dan emosional. 
——

Semesta memang adil.
Selalu memberikan kebaikan.
Hanya kadang justru diri yang tak siap menerima kebaikan itu, entah karena merasa tak pantas, tak berharga, tak mampu, terbayang-bayang kata-kata negatif orang tua abusif “kalau keluarga tak mampu menerimamu, apalagi orang lain”.

Padahal kenyataannya, banyak orang yang sayang pada dirinya, banyak orang yang mau menerimanya, banyak orang yang peduli. 
——

Untuk siapapun yang merasa kamu tak pantas dicintai, tak pantas disayang, tak ada yang mau menerima, berhentilah percaya itu semua. 

Kamu pantas disayang, dicintai, dan diterima. 
Jika tak dapat dari orang tua dan keluarga, semesta luas sekali, akan banyak tempat dan manusia yang bisa cocok dan sayang padamu. 

26/9/19

Suami tukang selingkuh dan ngutang. Istri bertahan berharap suaminya akan berubah. Realitanya terjadi berulang dan makin memburuk. Dan istri tetap bertahan dengan harapan suatu kelak suaminya berubah. Hingga kerja keras menggumpulkan uang, membawa pergi haji dengan harapan pulang membawa perubahan pada suaminya. 

Lalu, suaminya berubah? 
Tidak.

Tetap hobby main, hobby ngutang, hobby foya2. 

Istri tak berhenti berusaha, terus berdoa dan berharap suaminya berubah. Dengan segala banyak penyangkalan suaminya buruk, dengan segala banyak pembenaran untuk bertahan, dengan segala citra keluarga baik yang terus di tampilkan di depan publik. 

Tanpa sadar puluhan tahun telah lewat, ia terjebak pikiran dan khayalannya sendiri untuk merubah suaminya hingga lupa untuk merawat anaknya dengan baik, bahkan menanamkan segala sifat delusi dan kondependesi terhadap anaknya. Anaknya menjadi seperti dirinya. Dan pola berulang. 

Berakhir sia2. Berharap manusia berubah dikala yang bermasalahnya pun tak sadar dirinya bermasalah ataupun mau berubah. 

——
Lalu memperjuangkan keluarga besarnya bagaiman dewa. Semua yang susah dibantu seolah-olah tanggung jawabnya. Empati terhadap keluarga besarnya tinggi sekali karena merasa ia sudah hidup puluhan tahun bersamanya. Sedangkan terhadap anaknya, acuh, tak ada empati, ataupun hubungan mendalam hati ke hati. Karena merasa “siapa kamu? Kamu gak lebih lama kenal dengan saya dibanding keluarga besar saya”.

Ibunya menelepon kesepian di kampung, langsung di datangi, meninggalkan anaknya yang sedang sakit sendirian.

Keluarganya lagi susah, di tolong, dikasihani, anaknya sedang berjuang keras dan kasepian diabaikan.

Hingga akhirnya ia melihat bahwa keluarganya hanya memanfaatkan, bahwa keluarganya hanya peduli dengan keluarga inti masing-masing, kalau keluarganya tak sebaik setulus imajinasinya, kalau keluarganya tidak seberusaha keras menjaga hubungan dan menolong seperti yang ia sering lakukan, bahwa hubunganya tak seimbang antar dua pihak. Dan penyangkalan pun terjadi, tak mampu melihat realita, tenggelam dalam kesedihan dan imajinasi kebaikan keluarganya yang biasa aja namun diagungkan. 

———
Sebagai manusia, perlu belajar melihat sesuatu sebagaimana sesuatu itu secara nyata, tak dibumbui harapan ataupun ilusi. Ada kalanya perlu diperjuangkan, ada kalanya tau kapan harus berhenti. Berhenti demi kehidupan yang lebih baik. Memperjuangkan orang yang tak mau berjuang hingga merusak banyak jiwa lain yang patutu diperjuangkan itu sebuah penganiayan, alangkah tidak bijaknya. 

Disini butuh batas. Batas kapan merasa cukup untuk mengakhiri sebuah hubungan beracun. Setelah 3x di selingkuhi kah? Setelah 3x rumah di gadai suami tanpa izin hanya untuk foya2 kah? Setelah 3x dipukul kasar kah? 

Batas. 
Sebuah upaya untuk menjaga diri tetap waras. Sebua upaya untuk menghargai diri sendiri.
Sebuah upaya untuk menciptakan hubungan yanh sehat.

Manusia tidak bisa menyenangkan semua manusia. Ada kalanya dibenci, ada kalanya di tidak sukai, ada kalanya di caci, biasa saja. Selama tidak merusak orang lain dna merusak diri sendiri. Orang mau sepakat/tidak, senang/tidak, ya tak apa. 

——
Selama diri tau diri seperti apa, apa yang dimau, apa yang dikejar, apa yang dikerjakan. Yausudahlah orang mau berbicara apa.
Nilai diri tak ditentukan oleh komentar orang, karena diri dibenci di suatu tempat, bisa jadi di tempat lain malah disayang banyak orang. 

——
Seandainya kamu tahu seberapa rusaknya kamu, seberapa banyaknya luka batinmu, seberapa banyaknya issue masa lalu yg tak terselesaikan, seberapa besarnya kamu merusak hidup anakmu lewat kurangnya perhatian, empati, menghancurkan kepercayaan diri, keberhargaan diri, dan menanamkan perasaan tak pantas dicintai hanya dengan sibuk mengurusi orang lain hingga kurang memenuhi kebutuhan emosi anak dan menanamkan kata-kata baik hingga anak tumbuh dalam perasaan kosong, tak berharga, tak mampu, hingga dihinggapi banyak penyakit mental merusak jiwa dan pikirannyaa hingga rusak masa depannya dikala potensinya luas biasa. Mungkin mati pun tak akan menghilangkan rasa bersalahmu. 
——

Dan saat anaknya sadar apa yang terjadi, ingin berusaha menjadi normal dan hiduo bahagia. Biarkan. Berhenti menanamkan rasa bersalah, berhenti bermain peran sebagai korban, berhenti menjadi manusia paling menderita dengan mengngkapkan segala perjuangan dan harapan imbalan yang tak sesuai imajinasi, berhenti menularkan sakit jiwamu. Jadikan sebagai bahan renungan. Renungan untuk menjadi manusia yang terus belajar menjadi baik. 

Jika tak mampu memperbaiki, maka jarak hal terbaik yang dapat dilakukan. Demi memutus rantai dan pola beracun. 

Saturday, September 21, 2019

Untuk ibu dan perempuan.

Menikah, melayani suami, hamil, melahirkan, punya anak, di kasih makan, di kenalin agama, di sekolahin, di nikahkan. Selesai. 

Sebagai anak, saya belajar. Seorang perempuan tugasnya lebih dari sekedar itu (diatas), menurut saya. 

Menikah harus atas dasar suka sama suka dan penuh tanggung jawab. Semacam ditanya “dulu nikah knp?”, orang tanggung jawab akan jawab “karena sudah siap menikah untuk beribadah dan membangun peradaban”, jawaban orang lepas tanggung jawab “ya dulu disuruh nikah ya nikah aja lah”. Sexual intercourse kebutuhan bersama mutual bukan sekedar menggurkan kewajiban sebagai istri, hamil perlu perencanaan dilakukan dlm keadaan mental dan fisik terbaik (menyelesaikan trauma masing2, menyehatkan badan, dan bertanggung jawab dengan memberi makanan baik lewat perasaan positif, nutrisi baik, pikiran positif, lingkungan positif). Melahirkan pun butuh mental yg baik, dukungan dari suami, tak peduli teknisnya mau vaginal ataupun cesar. 

Anak lahir, ia punya kebutuhan 

  • fisik (makan,minum,tidur,olahraga, pakaian, tempat tinggal)
  • Emosional (perasaan dicintai, dipahami, diterima, disayang, di dukung, ditemani). Ini di dapat lewat komunikasi hati ke hati, dipahami, diterima baik buruknya tanpa selalu menyalahkan, membandingkan, me reject, menekan, menuntut. Sesederhana menanyakan “td di sekolah ngapain aja?”, “temen kamu skrg siapa?”, “kamu sedih kenapa?”. EMPATI.
  • Spiritual. Bukan sekedar disuruh solat, ngaji, pake hijab, puasa. Diberikan awareness iman yg baik, diajarkan untuk menjadi lbh tenang dan dewasa, diberikan wisdom2 kehidupan sebagai bekalnya nanti. 
  • Intelektual. Ini pentingnya perempuan harus cerdas dan punya mental belajar untuk terus belajar. Anak gak cukup disekolahin, harus mampu jadi teman diskusinya, teman menjawab pertanyaannya sampai tuntas secara holistic (scientific, humanitarian, dan agama). Diarahkan pola pikirnya ke hal2 konstruktif, menjadi mentor kehidupannya. 

Anak kan bukan binatang yg dikasih makan, di sekolahin, selesai urusan. Ia manusia butuh kehidupan sosial dgn interaksi, butuh emotional connection dgn komunikasi hati ke hati guna mengembangkan EQ nya dgn baik, butuh mentor yg mampu membimbing ke tujuan dan cita2nya sesuai jati diri dan fitrahnya. 

Bikin anak gak mudah, hamil gak mudah, melahirkan gak mudah, ngurus anak jg gak mudah. Gak sebatas modal agama dan uang, butuh ilmu jg, butuh kedewasaan jg, butuh mental yg baik. Ya kalau mau anaknya baik. 

Bayangin deh, kamu minta anak baik sama Allah dikasih kaca yg bs bernilai milyaran. Tapi kaca itu gak kamu bentuk dgn baik, alih2 jd sesuatu yg indah, malah rusak sebelum berproses. Kamu minta anak yg baik, sama Allah dikasih grade A, tapi semua kemampuannya terbuang percuma karena keterbatasan ilmu dalam me nurtuner, bahkan byk potensinya yg gak keluar karena sering dicekokin hal2 negatif “mana bisa kamu”, “mana ada yg mau sama kamu”, “kalo mimpi jgn ketinggian”, “jadi anak bisanya cuma nangis”, “nyusahin orang tua aja”. 

Jiwa itu sama kaya fisik. Kalo dijejelin hal2 negatif, jadinya negatif, ngerasa sampah, ngerasa gak berharga, ngerasa gak mampu. Karena udah di program puluhan tahun dari kecilnya begitu sama orang tua yg frustasi dan bermasalah. Krn orang2 yg udah sehat secara mental dan batin dgn menyelesaikan semua unresolved issue nya, krn dirinya sudah positif, maka ia akan ngasih hal2 positif ke anaknya “wah hebat kamu udh bs gambar”, “wah hebat kamu jualan apel di sekolah laku”, “wah baik sekali kamu tidur tepat waktu”, “pinter sekali kamu mampu ranking 1”. “Kalau sedih nanggis aja gpp, kalau kesel ya lari aja, its okay to feel that, semua manusia jg gt kok”. Ia akan terus apresiasi anak, nurtuner anaknya, memberi cinta dan naikin self esteem nya. Dan ini hal terpenting yg bs diberikan ortu untuk bekal hidup anaknya (bukan sekolah, bukan materi, bukan makanan). 

Ngejar agama nyuruh solat ngaji puasa blabla. Tp kebutuhan2 lainnya terabaikan. Gak ada interaksi sosial, gak ada komunikasi, kebutuhan emosionalnya gak terpenuhi, gak diberikan arahan hidup, selalu dibentak, dipukul, disalahkan, dibanding2kan, diabaikan kebutuhan bekal duniawinya. Ya abis lah cuma jd sampah. Padahal anak ini bakal dimintai pertanggung jawabannya di akhirat nanti. Kan titipan. 

Dalam pandangan gw, modal sayang aja gak cukup. Butuh ilmu, butuh finansial yg baik, butuh kedewasaan, butuh keimanan yg baik dan aplikasi agama yg baik (bukan sekedar rutinitas, pelarian dr masalah, tameng defense). Baik menurut kita blm tentu hasilnya baik jika tidak dibarengi ilmu. Semacam saking sayangnya sama ikan, kasian liat ikan di air terus, alhasil diangkat ke darat diselimutin. Yg ada ikannya mati. Semacam saking sayangnya jd overprotektif sampe anaknya gak pny kehidupan sosial gak pny temen, kesepian, jd stress, EQ jd rendah, ujung2nya banyak masalah2 lain muncul ps dewasa. Niat baik tanpa ilmu tuh kebodohan terdzolim. 

Tugas perempuan bukan sekedar nurut suami, melayani, tapi juga menjadi edukator, fasilitator, mentor, teman, dan role model buat anaknya. Penting perempuan menjadi cerdas. Kalau perempuannya berkualitas, maka ia pun akan menarik orang sejenis dan selevel dengan dirinya untuk menjadi suaminya. Kasarnya, lo level 2 ya narik cowok level 2, pas punya anak sama Allah dikasih level 10 tp krn kemampuan lo berdua mentok di level 2, ya anak lo cm bs sampe level 2 jg, sisanya (8) ilang percuma sia2 gak dikembangakn dan terpakai sesuai fitrahnya. Kasian anaknya. Dan kalo udah gini jangan nyalahin anaknya yg kepinteran, harusnya orang tua yang terus belajar, kalau gak bisa ngimbamgi secara intelektual, minimal kebutuhan emosionalnya terpenuhi (kan cm butuh cinta dan EMPATI). Kalo materi ya selama kebutuhan primernya terpenuhi ya baik, gak perlu sampe nyiapin mobil/rumah buat anak. 
————
Si ini anak siapa, lulusan apa, gelarnya apa, kerja dmn, tingginya brp, putih nggak, dll. Itu mah urusan sepele. Superficial. Yg penting level dirinya selevel dan tipe yg terus terus berusaha, belajar, berkembang. Krn nikah bukan tolak ukur pencapaian, apalagi 1/2 agama berarti ilmu yg harus dipersiapkannya lbh banyak, mental hrs lbh kuat, iman hrs lbh baik, tandanya apa? Ya harus terus belajar. Perkembangan dan pertumbuhan diri jgn mentok sampe di tahap nikah aja. 
————-
Lahiran via vagina atau cesar; asi atau sufor; bekerja di kantor orang atau di rumah; itu mah hal sepele gak perlu diributin. Perempuan tetap utuh meski gak ada selaput dara, meski lahiran cesar, meski asi nya gak keluar, meski kerja dari rumah. Selama sesuai value, punya prinsip hidup, punya vision dan tujuan yg jelas. Fokusnya ke yang penting2 aja gimana caranya jalanin amanah Allah lewat anak (kalau memutuskan punya anak) tumbuh sesuai nature dirinya, bisa mekar di waktunya (jangan sampe mati sebelum mekar), fokus ke masa depan yg berdampak pada peradaban (ya nurtuner anak dgn baik). 

Beneran deh, otak tuh penting bgt dipake! Bukan buat ngitung2 hal detail dan berkalkulasi aja, tp dipake buat bikin vision, melihat big picture, bikin konsep, dan ngejalanin step by step nya. Hati jg penting dipakai, minimal belajar EMPATI deh dna berkomunikasi dengan baik, membangun bonding. Agama ya kepake ke semua aspek (kalau agamanya baik, dewasa, bijaksana, dan mampu berintegritas). 

*wuallahualam bishawab

Monday, September 16, 2019

16/9/19

Hati selalu jujur akan perasaannya, akan frekuensi yang diterimanya,
Hati, panca indra kasat mata, menerima pesan tanpa perlu kata dan bukti.
Hati-hati dengan hatimu, karena orang lain mampu merasakannya.

16/9/19

Cinta,
Tak sesempit rasa terhadap pasangan lawan jenis,
Tak sesempit rasa peduli terhadap keluarga,
Tak sesempit untuk orang-orang terdekat.

Cinta,
Penerimaan, kebaikan, kasih sayang, perhatian, dukungan, merawat,

Dokter memberi cinta terhadap pasiennya lewat perhatian dan dukungan.
Teman memberi cinta terhadap teman, lewat segala kebaikan, perhatian, dukungan, dan penerimaan.
Orang tak dikenal memberi cinta terhadap manusia lainnya lewat senyuman dan kebaikannya.

Luas sekali makna cinta,
dan tak akan habis, semakin banyak di berikan, semakin banyak pula cinta itu datang.
Tak perlu berhitung dalam mencintai, asal tak kehilangan diri asli.

Hanya saja, dalam society, ada aturan-aturan tak tertuis yang membatasi ekpresi cinta terhadap sesama. Dokter harus mampu membatasi rasa cinta terhadap pasiennya, dikala ia bisa memberikan lebih dan menyembuhkan dalam level yang lebih dalam untuk psikis yang mempengaruhi fisiknya. Teman harus membatasi cinta terhadap temannya yang berbeda jenis kelamin untuk menjaga hati pasangan dan pandangan society. Sesederhana mengurungkan niat untuk mengunjungi dan menemi temannya yang lagi di opname di luar kota, sekalipun rasa sayangnya besar. Manusia lain pun harus membatasi cinta terhadap sesama, tak bisa kita bebas mengespresikan cinta lewat sentuhan ataupun pelulan, meski sang pemberi dan penerima saling paham itu bentuk kasih terhadap sesama tak lebih dari itu.

Cinta, sebuah hal baik,
Cinta, sebuah hal positif,
Dalam ekspresinya pun terkekang segala aturan tak kasat mata, tak bisa bebas dilakukan, padahal setiap manusia butuh untuk mencintai dan dicintai. 

--------------
Kenapa ada manusia yang merasa tak dicintai meski harta berlimpah, semua kebutuhan fisik dan materilnya terpenuhi, dan punya status sosial yang baik? Karena ia MERASA tak diterima, tak dipahami, tak di dukung, tak di rawat, tak di beri perhatian yang cukup. Mau sebanyak apapun orang memberinya cinta, jika orang tersebut tidak merasa dicintai, maka cinta nya kurang, kebutuhan cintanya tak terpenuhi. Karena cinta dirasakan oleh penerima bukan pemberi. Orang merasa dicintai saat dirinya MERASA di cintai dalam parameternya masing-masing. 

Ada orang secara materil pas-pasan, keluarganya biasa, tapi ia tumbuh kuat penuh cinta dan merasa dicintai hanya karena orang tuanya bisa menerima dirinya baik buruk tanpa pernah membandingkan, me labeli buruk, dan mengucilkan.

Asa orang secara materil terpenuhi, sekolah dibiayain, orang tuanya cuti menemani di rumah sakit saat opname, tapi gak merasa dicintai. karena apa? karena ia tak pernah di dukung, gak pernah di dengar, gak pernah di pahami, bahkan tak peranh di rawat penuh kasih sesederhana ingin pipis disuruh panggil suster karena ortunya kesel tidurnya ke ganggu. 

Cinta, 
tak perlu hal besar, tak perlu mahal, tak perlu merusak diri.
berikan dengan tulus penuh kasih.
Karena sesuatu dari hati akan sampai di hati.
Sesederhana sebuah tatapan penuh kasih, penerimaan, dan dukungan, tatapan yang seolah2 berkata  "i know u can do it, i trust you" dalam diam, orang akan bisa merasakan dan jadi kekuatan buat dirinya tumbuh dan beraksi.
--------------

Cinta,
apa yang kamu rasakan?



Saturday, September 7, 2019

7/9/19

Salat satu bentuk kebebasan adalah mampu mencintai tanpa adanya attachment/keterikatan.
Mencintai tanpa harus bertemu, tanpa harus berkabar, tanpa ada perasaan insecure, tanpa ada hasrat ingin memiliki, tanpa ada keinginan menguasai.

Kebebasan perasaan/emotional.

Setelah menjalani hidup sepanjang 31 tahun, akhirnya sampai pada titik pembelajaran ini.
Melepas emotional attachment. Baru 2 orang yang mampu dilepaskan, rasa jiwa sudah seringan ini.

Thank you, Allah, for helping me cut the cord and break the attachment.

-------
Menuju kebebasan finansial, perlu kerja keras bekerja, percaya diri, dan disiplin.
Menuju kebebasan perasaan, perlu kerja keras melepas segala beban masa lalu dan segala keterikatan emosi terhadap orang-orang yang telah hinggap di hati. Belajar memaafkan dan mencintai tanpa syarat.
Menuju kebebasan pikiran, hanya perlu menjadi diri sendiri, jujur terhadap diri, dan berani bersuara tanpa takut akan penilaian orang. 

Dear myself, 
Thank you for improving yourself
Thank you for helping yourself.
Thank you for being yourself.

Wednesday, September 4, 2019

4/9/19

Thank you for loving me,
Thank you for nurtuning me,
Thank you for staying.