Tuesday, April 23, 2019

Identitas

Membentuk identitas dalam society penuh prejudice sangatlah mudah.
Hanya mengunakan sesuatu yang dianggap simbol sesuatu, maka masyarakat telah memiliki asumsi identitas sesuatu terhadap orang tersebut.

Misalnya,
Nama kamu ada siti/ muhammad, orang sudah bisa tau kamu muslim. 
dari identitas muslim itu, maka orang bisa berasumsi banyak hal tentang muslim.

Kamu pakai hijab, orang sudah bisa tau kamu muslim, dan tidak memungkiri adanya asumsi bahwa perempuan berhijab itu agamanya baik, shalatnya baik, ibadahnya baik, akhlaknya baik, mengikuti ajaran agama penuh taat dan kebaikan. Realitanya? Belum tentu kan?

Jika namamu muhamad (nama identitas muslim), tangan penuh tattoo, rambut diwarnai merah, (identitas nakal), maka masyarakat pun akan punya pandangan dan asumsi lain sekalipun hatimu sebaik mother Theresa.

Kamu pakai sarung, peci, berjanggut, maka asumsi orang pun akan menganggap orang baik, karena membawa identitas alim ustadz. Di awal, mungkin orang tak akan mengira bahwa dia pedofil (contohnya) atau penipu ulung yang tak takut dosa.

Kamu pakai baju gombrang casual berbahan linen, rambut diwarnai hijau gradasi biru, pakai tas ransel neon, pembawaan penuh kegembiraan ceria. Mungkin orang tak akan mengira bahwa kamu lulusan S3, punya otak briliant, pekerja keras nan serius, seorang muslim, taat ibadah meski tak berhijab.

Coba perhatikan atau tanya ke dirimu sendiri, seberapa sering kamu berasumsi terhadap seseorang atau sesederhana menebak identitasnya hanya dari penampilan dan pembawaannya?

Semakin sering berasumsi hanya dari apa yang dilihat, di dengar, di rasa, semakin mudah di tipu. Karena hal-hal yang sifatnya visual dan terekam panca indra itu bisa diciptakan. Semudah menentukan/ mengunakan suatu identitas untuk menciptakan persepsi dan asumsi tertentu.

Hidup dalam society bagaikan hidup dalam ilusi.
Orang saling menciptakan indentitas-identitas dan terikat oleh aturan-aturan tak baku yang kebenarannya pun masih dipertanyakan, lalu sibuk berasumsi dan menyakini bahwa itu sebuah realita yang pasti benar. Begitu terus polanya turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya, hingga nilai kebenaran menjadi abu-abu, pikiran menjadi dangkal untuk melihat lebih dalam dan menjadi kritis, orang serba instan menilai dan begitu mudah dalam meyakini sesuatu tanpa dicari tau kebenarannya.

Thursday, April 4, 2019

Monday, April 1, 2019

Kata

Kata.
Bisa menyembuhkan.
Bisa pula menyakitkan.

Kata.
Bisa memperbaiki.
Bisa pula memusnahkan.

Kata.
Bisa menolong.
Bisa pula menjatuhkan.