Saturday, April 29, 2023

22/4/23

"kapan nikah?"
"kok blm pny anak?"
"kok msh nganggur?"
"kok blm lulus2?"

Apakah sadar gak kalau itu hanya pertanyaan template?
Jika diri masih bereaksi, ada kemungkinan ada hal yang belum selesai di diri. Selama diri secure terhadap pilihan hidup, tahu apa yang dilakuin, kenal diri sendiri, feeling good enough; pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan memberikan dampak apapun sama diri. Itu cuma pertanyaan template basa basi sosial yang biasa terlontar di Indonesia saat lebaran. 

Btw, Apakah sadar gak selama bulan puasa, seberapa banyak orang yang hidup sendirian?
Termasuk orang yang memiliki keluarga maupun teman namun realitanya sendiri karena teman-temannya memiliki pikiran asumsi "dia kan ada keluarganya". Lalu keluarganya memiliki asumsi "dia kan ada teman". Orang-orang lainnya memiliki asumsi "gak mungkin sendiri". Berakhir tidak ada satupun orang yang hadir dalam hidupnya. Sekalipun orang tersebut jujur dan asking for pun orang masih berasumsi dia bisa sendiri atau ada orang lain. Berujung tidak ada yang say hi kabar, mengajak bukbar, berinteraksi, dan orang tersebut benar-benar sendiri secara fisik maupun emosional. 

Dan apakah sadar? selama lebaran, seberapa banyak orang yang sebenarnya kesepian sekalipun merayakan bersama keluarga dan teman-temannya? Tidak ada emosional connection, tidak ada bonding, tidak ada empati, tidak ada intimacy, selain hanya hadir secara fisik bersamaan di tempat yang sama. Apa kalian peduli? Atau sesederhana aware akan hal itu? Banyak Fenomena itu lebih bahaya ketimbang pertanyaan-pertanyaan template di hari lebaran, yang bisa jadi masalahnya justru di orang yang diberikan pertanyaan (insecure, tidak yakin sama hidupnya, not feeling good enough, ada trauma atau issue yang ke trigger).

Budaya Mencemooh

Topik ini tiba-tba pop up kemarin pas di jalan. Mulai dari mana ya...

Saat seseorang melakukan hal-hal yang dianggap buruk, sering kali hal itu dianggap aib dan dijadikan senjata oleh orang lain untuk menjatuhkan maupun menyakiti orang tersebut di suatu hari nanti.

Misal:
Seseorang depresi, kesepian, merasa tidak dihargai, merasa sendiri, stres dengan tempat tinggal, sakit hati, kewalahan, dan muak akan segala hal yang sedang terjadi di hidupnya, lalu ia kabur dari rumah. Beberapa tahun kemudian, orang ini melakukan sesuatu yang tidak bisa diterima sepupuhnya, lalu sepupuhnya menyerang dengan mebawa semua hal yang dianggap aib ke permukaan untuk memperlihatkan "kamu buruk", "semua orang tau aib mu", "kamu tidak tahu diri", "kamu nakal", dengan membahas-bahas kabur dari rumah dengan nada mencemooh dan menekankan itu sebuah keburukan, aib, dan hal tak patut.

Ada anak yang tidak mau sekolah, maka di marahi "anak gak bener", "anak gak tahu diri", "ih tuh liat anaknay si xx gak mau sekolah, yaiyalah bapaknya aja gak bener apalagi anaknya", "tuh anak gak liat prang tuanya susah apa ya, gak tau diri banget". Alih-alih melihat sesuatu secara dekat "apa yang bikin anak ini gak mau sekolah?", "apakah ia minder? takut? malas? kecewa sama ortunya?", "apa yg bisa aku kontribusikan untuk mengubah keadaannya menjadi lebih baik?".

Atau contoh lainnya, seperti seseorang yang ketahuan memiliki hutang, masalah dengan sosok authority, suami/istrinya suka ribut. Hal-hal yang dianggap melanggar norma benar salah, lalu berhak di cemooh. Padalah apa manfaatnya mencemooh atau menganggap itu abi yang bisa dibuka diumum sebagai serangan saat orang tersebut kesal dengan orang yang dianggap punya masalah tidak baik itu?

Saturday, April 22, 2023

Lebaran 2023

Selamat lebaran ya semua.

Seneng deh masih ada yang jualan menu lebaran dan bisa di beli langsung.
Seneng deh bisa taking care diri sendiri dan happy2 joy sendiri.
Seneng deh meski struggle suffering ketidakbahagian orang2 mulai ke perceive, 
diri bisa tetap grounded dan aware its not mine.

Btw, hari ini aware banyak hal. Menariknya, banyak sekali yang ke flashback dan diri netral2 aja. Banyak yang pengen di sharing, cuma kok makin dewasa makin private. Rasanya cukup di keep sendiri. Kadang cerita terbuka ke orang secara langsung, ketemunya orang2 yg gak bisa mengapresiasi, menghargai keterbukaan, nyepelein, gak kind buat diri, dianggap cuma ocehan dan curhatan tanpa menyadari kalau itu hal berharga dan penting karena gak cerita ke sembarang orang dan ke orang lain. Dari situ jadi belajar buat "yaudah disimpen sendiri aja, gak semua orang layak buat tau. atau bisa jadi gak ada satupun orang yang berhak tau". Inisght yang di dapat hari ini banyak sekali, nanti lah kapan2 di share setelah gw olah menjadi ide dengan tetap mmeiliki privasi. 

Friday, April 21, 2023

Penasaran

After big transformation, perubahan dahsyat, explorasi diri, dan perubahan-perubahan yang terus hadir to be more the best version of myself, jadi penasaran, siapa ya yang jadi jodoh (pasangan) ku ? 

Siapa ya laki-laki yang punya kualitas yang sama, berada di level yang sama, bisa mengimbangi, yang berada dalam fast pace yang sama atau bahkan lebih cepat, dan sama-sama terus berkembang dan tumbuh, yang nurturing, nourishing, yang bisa jadi partner apapun dimanapun termasuk co-creating bareng, dan berharmoni? apa lagi ya?

Siapa ya laki-laki itu?
Apakah aku kenal?
Apakah sudah pernaah bertemu?
Bakal ketemu kapan? dimana?

Penasaran.

Lebaran

Apa ya yang diingat dari lebaran?

Baju baru 5 stel, dapet banyak kiriman parcel di rumah, mudik macet-macetan. Sampe rumah nenek gak ada kamar, tidur ngampar, yang dari luar kota jauh yang justru beberes, masak, siap2, orang2 rumahnya dan sekota malah kaya tamu. Shalat ied di lapangan, dapet angpao, nangis2 salaman, abis itu bingung ngapain lg? berujung tidur2na. Hari kedua (waktu masih kecil) bareng sepupuh nonton bioskop. Abis itu udah gak ada apapun lagi. No conversation, no bonding, no intimacy, just ceremony, effort, sacrifice, and whast the point?

Semakin besar, lebaran justru menjadi hari yang tidak menyenangkan. I dont have any good memories. Lucunya, 11 tahun ini setiap bulan puasa aku kabur ke luar kota, provinsi, pulau. Baru banget sadar kemarin "eh kok gw menjelang puasa kabur2an mulu ya", entah emang pergi, isolasi diri, mendadak pindah kerja jauh, mendadak ada urusan jauh. Seiiring itu, jadi punya alasan gak perlu mudik, gak perlu ketemu orang-orang, dan gw melanjutkan isolasi diri di tempat asing, gak kenal siapa-siapa, gak ada siapa-siapa. Rasanya jauh lebih menyenangkan daripada hadir secara fisik dengan orang-orang dikenal tapi gak ada rasa apapun, bahkan dihargai orang jauh yang kita jauh-jauh datang pun nggak. 

Lambat laun, aku melihat lebaran hanyalah hari. Sama sperti hari-hari lainnya.

Seiiring itu, aku pun melepaskan segala ekspetasi terhadap orang-orang terdekat yangs atu kota kok gak diundang, kok gak dikirimin makanan, kok gak ditanya kabar, kalaupun inisiati duluan kok gak welcome. Dulu sempet sedih merana gt wkwk, sekarang biasa aja. Ya seperti hari ini (malam takbir, besok lebaran), aku cari2 masakan lebaran yang ternyata ada warung dekat tempat tinggal jual, yaudah beli. Makan sendiri, happy. Kemarin "kok gaka da yang ngirimin hampers sih", yaudah aku beli sendiri aja hamper kue lebaran untuk diri sendiri. Selama bulan puasa juga gaka da satupun yang ngajak bukbar, untungnya posisiku memang sedang jauh terhalang samudra dan sebagai minoritas, jadi happy-happy aja puasa sendirian gak ada yang ajak bukbar. 

Tahun lalu lebaran sendiri di ujung Timur Indo, di pulau terpencil 5 jam dari kota dan 2 jam nyebrang perahu, tanpa listrik, tanpa warung, tanpa kebal siapapun, dengan penghuni pulau kurang dari 20 orang manula semua. Tahun sebelumnya di luar kota yang isi nya orang-orang dikenal tapi aku sendirian dan yaudah. Malah makin sadar "oooo gini". 

Uang dan Kebahagiaan

Banyak yang bilang uang tidak bisa membeli kebahagian,
Realitanya, dengan memiliki banyak uang, kita bisa:
- Memilih tempat tinggal yang nyaman dan mendukung kesejahteraan fisik, psikis, dan produktifitas.
- Memilih makanan yang enak, sehat, menyenangkan.
- Memilih dan memiliki kendaraan yang nyaman dan mendukung perpindahan tempat. Kalau malas nyetir sendiri, bisa hire supir.
- Memilih skincare, body care, hair care yang kita suka, yang kualitasnya bagus, yang menyenangkan.
- Bisa pijat, akupuntur, perawatan wajah, tubuh, dan rambut tiap weekend.
- Bisa traveling kemanapun yang dimau
- Bisa beli kelas dan belajar tanpa batasan
- Bisa memilih pakaian yang nyaman, berkualitas, keren, dan bebas mau beli seberapa banyak.
- Bisa beli menu lebaran enak tanpa masak.
- Bisa beli apapun, bisa kemanapun, bisa melakukan apapun.
- Bisa olahraga apapun dengan happy.
- Bisa bebas berbagi dimanapun, kapanpun, kepada siapapun.

Bukankah semuanya itu membahagiakan?
Ya, uang tidak bisa memberi cinta. Jika kita sudah mampu mencintai diri sendiri, apakah masih perlu mengemis cinta dan penerimaan dari orang lain? Toh mau miskin atau kaya, kita tetap tidak bisa mengerakan hati manusia lain untuk menyayangi, mencintai, dan menerima kita. Bradanya kalau kaya, kita bisa memiliki banyak sekali kesempatan untuk memilih, bergerak, dan melakukan banyak hal. 

Misal, 
- Traveling sendiri takut sedih. Kita bisa hire tour guide untuk menemani. Bahakn bisa join open trip.
- Lebaran sendiri pun gak perlu sedih, bisa pesen makanan lebaran tanpa hitung-hitungan biaya, bisa beli baju lebaran sendiri dengan leluasa, bahkan bisa berbagi ke panti asuhan bertemu banyak orang dan memberikan cinta kasih ke mereka. 
- Hidup sendirian pun bisa happy-happy aja. Tidur di tempat nyaman, makan enak, olahraga ketemu orang lain, bersosialisasi di club, ikut komunitas yang disukai dan empowering (olahraga/ spiritual/ intelektual, apapun itu).

Kadang mikir, kok gak dari kecil sih di jejelin dogma uang itu menyenangkan dan bisa menciptakan kebahagian? Dari dulu ditanamkan belief "uang gak penting", "uang bukan segalanya", "uang tidak bisa membeli kebahagian". Realitanya? Bisa. Bahkan sangat mendukung kehidupan. In my opinion, selama kita hidup di dunia dan masih memiliki tubuh, uang itu penting. Jadi semangat creating money wkwk.

Teori

Mungkin banyak sekali orang-orang yang hobi memberikan nasihat, solusi, teori, saran, tanpa mau berkontribusi dalam prosesnya sesederhana ada sebuak aksi. Melontarkan kata dan kalimat, lalu meninggalkan seseorang yang sedang terpuruk dalam label dan kesendirian.

"Makanya belajar mencintai diri sendiri"
"Belajar fokus sama diri sendiri"
"Hargai diri sendiri"

Bagaimana orang bisa tahu rasanya sayur asam jika ia tidak pernah mencicipinya?
Bagaimana orang bisa mengendarai mobil jika ia tidak pernah mempraktekannya?
Bagaimana ia bisa praktek jika tidak ada kesempatan untuk mengemudikan mobil?

Sama halnya, saat kalimat "cintai diri sendiri" dilontarkan kepada seseorang yang tidak pernah mendapatkan cinta murni dan merasa disayang dicintai. Bagaimana ia bisa mencintai diri sendiri dikala Ia pun tidak tahu seperti apa rasa cinta dan kasih itu? Lalu orang yang berkata seperti itu pergi berlalu tanpa ada kontribusi apapun dalam prosesnya dan merubah keadaan membaik dikala teori dan "insight" bisa sangat mudah didapatkan seseorang baik lewat proses kognitif maupun awareness. Pertanyaannya, bagaimana seseorang tersebut bisa mencintai dirinya sendiri, dikala Ia tidak tahu rasanya dicintai? Karena belajar mencintai diri sendiri dari experience perasaaan disayang dicintai akan berbeda dengan belajar melalui artikel, teori, dan segala tulisan tentang "self love". 

Monday, April 10, 2023

Menyiksa Diri Sendiri

Mungkin tanpa sadar, banyak sekali hal-hal yang dilakukan yang menyiksa diri sendiri.

Menjadi satu-satunya yang selalu berusaha untuk hubungan yang satu arah.
Diam disaat keadaan/ tempat sudah tidak baik untuk diri bahkan menyakiti.
Terus memberi terhadap orang/lembaga yang tidak bs menerima.
Bertahan dalam relasi dan sesuatu yang sudah tidak bekerja.
Terus berusaha untuk hal-hal yang sudah tidak bekerja.
Mengejar-ngejar orang yang jelas-jelas menolak.
Memegang hal-hal yang sudah tidak relevan.
Terus bertoleransi saat diperlakukan buruk.
Memilih orang yang tidak memilih diri.
Memberikan sesuatu hingga diri menderita.
Tidak mengikuti intuisi, invalidasi diri.
Tidak mengejar apa yang diri mau.
Tidak memperjuangkan diri sendiri.
Tidak tahu kapan harus berhenti.
Terlalu baik dan mengabaikan diri.
Tidak memprioritaskan diri sendiri.
Memprioritaskan orang diatas diri.

Whole

Kalau self esteem bisa kita dapet dari dunia luar, begitupun self worth yang bisa terpengaruh dari dunia luar. Ya semacam dikucilkan/ kelamaan nganggur/ sering di reject/ lagi sakit lama/ apapun yang kita taruh sebagai keberhargaan diri, maka akan mempengaruhi self esteem. Kalau self worth beda konsep, cm ada impact dari bagaimana orang dan lingkungan memperlakukan diri. Dan dua itu akan gampang goyah saat diri belum menjadi utuh dan bersatu satu kesatuan dengan diri sendiri, karena ada void. Void yang diisi lewat pekerjaan/ achievement/ relasi/ cinta orang lain/ penerimaan org lain/ lingkungan/ keadaan keuangan/ judgmenet orang/ dsb.

Saat diri sudah whole, apapun yang terjadi di luar diri, tidak akan membuat diri ambruk, ya paling goyang2 dikit lah cuma akarnya udah kuat. Begitupun dengan self worth, ibarat uang 50rb, mau orang perlakukan dengan dilipat, disayang2, diremas, dilecehkan, diinjek, apapun itu, tidak akan merubah nilai uang 50rb yang tetap 50rb. Kalau self esteem ya pengaruh dunia luar karena kita mahluk sosial yang butuh pengakuan eksistensi, apresiasi, relasi sehat, penerimaan, sense of belonging, kehidupan sosial, penghargaan. Dan itu semua bisa diusahakan secara mandiri, lewat sekolah, bekerja, berkarya, dll.

Kembali ke bahasan whole. Being whole untuk orang-orang yang tumbuh dr lingkungan yg lack of support, lack of love, lack of acceptance, lack of direction, abusive, full trauma drama, toxic relationship, had accident that big impact, bakal jadi PR dan effort bgt untuk beresin diri dari kepingan yang bolong2 menjadi whole. Semoga working on it nya gak makan banyak waktu, at least sebelum diri memasukan orang lain dalam hidup (mencari partner hidup/ menikah) ya beresin dulu deh sampe diri full whole. Jadi gak mencari partner untuk mengisi void, melainkan bisa saling tumbuh bersama dan co creation. Mungkin ini yang jarang dikasih tau dalam society, wejangan untuk anak-anak dan muda mudi. 

Indikasi whole, salah satunya: nyaman sendiri sendirian (bukan krn ada masalah sama orang/ introvert/ gak suka sama manusia. Ya semuanya baik2 aja). Ke gym sendirian, happy; pindah ke tempat asing sendirian, happy; di nyinyirin orang karena berbeda, santai; ya sibuk sendiri menciptakan kehidupan dan menikmati diri sendiri, udah gak perlu stimuli dan mencari pengisi void dari dunia luar (temen, pasangan, addiction). Btw, addiction tuh bukan sebatas belanja, sex, alkohol, sekolah, bekerja, filirting sama banyak orang gombal sana sini php in jg bs sebuah jenis addiction. Nah ini perlu cek2 deh, apakah addiction yang diri punya cenderung self destructive atau justru ngerusak orang lain? 

Indikasi kedua, orang-orang yang whole, gak akan ngerusak dirinya sendiri dan orang lain.

Perempuan

Hi, 
Di sini udah jam stengah 3 pagi dan gw masih melek karena kebanyakan makan tadi pas buka plus makannya kemaleman. Padahal udah ngantuk bgt dari sore. Tau deh, bentar lagi sahur, belum tidur, besok banyak agenda. Well, lets see. 

Cerita aja deh. 
Jadi di tempat tinggal gw skrg, ada judgment/ streotype terhadap penduduk lokal. Ada yang looking down cewek-cewek lokal, yang ternyata banyak yang mental inferiority dengan menjadi bule hunter dengan intention bisa merubah nasib. Terus tiba-tiba dapet info kalau perempuan-perempuan di sini gak akan dinikahi kecuali hamil duluan. Awalnya gw pikir cuma gosip, ternyata di berbagai wilayah memang seperti itu. Gw liat sebagai fenomena dan informasi aja. Masalahnya, karena fisik gw mirip orang lokal (Asia) jadi ikut2an kena judgement streotype itu. Menarik.

Kalau dari orang lokal, salah satunya mindset dinikahi kalau hamil, karena ada kasus nikah lama gak hamil-hamil dan merasa rugi nafkahin anak orang. Hal ini terjadi juga di desa-desa malahan lebih banyak daripada di kota. 

In my opinion, kita gak less than siapapun apapun. Dan gak ada yang bisa merubah, menolong, membantu kita selain diri kita sendiri. Dunia luar hanya pelengkap, kita generatornya, mesinnya. Intinya gak perlu lah menjadi inferior apalagi di tanah sendiri. Orang asing tuh sama aja kok, ada yang pinter, so so, dan less; ada yg tajir, biasa aja, dan low; ada yang kind, nice, asshole; ada yang ganteng/cantik, ada jg yg biasa aja. Intinya sama kok, cm mental aja yang membedakan cara pandang kita terhadap dunia luar dan orang lain. 

Kedua, menarik mindset hamil dulu baru dinikahin karena gak mau rugi nafkahi anak orang kalau gak bisa hamil. Jadi inget, waktu SD atau awal2 SMP, gatau deh gw dapet point of view dari mana (kayaknya sih dari sinetron) kalau nikah itu harus punya anak, kalau gak punya anak aib bgt dan gagal. Sampe pernah keceplosan nyinyir orang yang belasan tahun nikah gak punya anak, nyokap komen "Pernikahan itu bukan tetang punya anak aja, anak tuh bisa adposi". Langsung kebuka tuh mindset gw ttg pernikahan dan anak. 

Thursday, April 6, 2023

Clubbing VS Ecstatic Dance

Hi, mau share sesuatu tentang clubbing dan ecstatic dance.

Biasanya clubbing saat diri dalam keadaan happy dan makin happy. Dancing in the dance floor bener-bener ajang connect sama badan, ekspresi diri, dan released energy berlebih. Ada momen-monen saat terlalu hanyt dalam ritme, kesadaran agak sedikit hilang. Awalnya mikir apa karena minum, tapi cuma dikit, dan masih bs aware. Lalu yasudahlah kembalikan diri ke ritme yang lebih sadar. Kalau ecstatic dance baru 2x, tahun 2019 malam dan 2023 kemarin pas siang. Bedanya waktu 2019 aku gak bahagia dan gak bs menikmati musik termasuk gak connect jg sama badan sendiri. Kalau kemarin di 2023 ini, sensual, slow, mindful, sambil nutup mata, benar-benar merasakan my body dan setiap gerakannya. Intim sekali rasanya. Saking terhanyutnya sempat hilang kesadaran. Rasa dan experience yang sama dengan clubbing. Setelah selesai, aku meditasi sebentar dan tiduran terlentang.

Dari 2 dance (clubbing dan ecstatic dance) itu, selain sebagai ajang meditasi bergerak, terkoneksi dengan tubuh, ajang menyelaraskan jiwa dan pikiran lewat hadir utuh bersama tubuh (kalo aku ya, untuk sejauh ini). Dan ada hal menarik yg disadari adalah momen hilangnya kesadaran atau yang biasa disebut transcende? Pernah baca jurnal terkait itu cuma dulu blm ngerti karena tidak mengalami langsung, dan gak ngerti jg analisanya. Waktu clubbing, aku pikir begitu karena faktor lain, ternyata tanpa faktor lain pun mengalami hal sejenis itu juga.