Wednesday, May 31, 2023

Access Bars and Body Process





For Further Information and Appointment:

Dating App

Sempet instal dating app, awalnya kepo isinya kaya apa, ternyata its not my lifestyle.
Dari situ jadi sadar, kalau gw gak suka ngobrol ma orang cuma buat ngalor ngidul atau ngisi waktu, gak suka interaksi sama orang yang "whats the point?", gak suka filrting. Intinya wasting time aja main gituan. Sampe suatu ketika match ma org kok nyangkut, gak makes sense tp kejadian bener2 taking care and sacrificing bgt lah, sampe ribet urusan banyak trauma, dll. Ini pengalaman aneh, krn seumur2 gak ada ceritanya gw nyangkut ma orang apalagi sampe jd ribet. Pas udh kelar traumanya (setahunan dan dibantuin byk org proses healing recovery nya), instal lg buat cek diri sendiri, ternyata gak ada satupun yg klik di awal, jd ya emang semua hal itu cocok2an, dari jutaan orang blm tentu bs ada yg nyangkut. Nah disini jg sadar, apa yg bikin org2 gak trust sama aplikasi dating, ya banyak yg gak beres, gak pake identitas asli, tebar jala, just for having fun, gak bener, abusif, mental taker, php rusak mental org, banyak yang gak beres. Dan orang2 yg dr awalnya gak jujur minimal jujur dgn nama (yg bs di googling keluar identitasnya di linked/ riwayat pendidikan/ sosmed lainnya yg sinkron) ya be aware aja. Karena orang yang niatnya baik, yang honoring people, yg gak main2 mainin orang, mereka akan sangat bertanggung jawab sama segala sikapnya dengan mengemukakan identitas aslinya. Kalau org gak bener, yang emang niatnya buat main2 atau bahkan jahat, mrk gak akan berani kasih identitas asli, biar kalo ada masalah bs kabur dan kehidupan nyatanya gak terganggu. 

Hal ini berbeda dengan saat kita bersosialisasi secara offline seperti ikut komunitas, pesta, orang yang ditemui real nyata, nama nya asli (untuk acara2 berbayar pasti nyerahin bukti transfer dan keliatan nama aslinya, ada data di admin), ada mutal friends di komunitas itu (jadi kalau macem2 ya bikin masalah dan merusak reputasinya sendiri). Interaksi sosial secara real pun bikin orang gak sembarangan, kurang ajar, abusif, minimal ada etika, empati, saling menghargai, dan body kita jg seneng pasti ketemu orang-orang secara nyata. Ya selama kita punya badan, kita butuh interaksi dengan badan2 lain sesederhana ketemu org, ngobrol, beraktivitas bareng. Pusing2 sih biasanya gw kalo body require ketemu body lain, ya dateng aja ke coffesshop, banyak orang tuh. Meski duduk sendirian fokus sama laptop sendiri, body happy krn ada interaksi (sama kasir pesen minuman), ketemu body2 lain satu ruangan. Atau jogging aja di taman, ya pasti adalah papasan ma orang.

Kalau ngobrol, interaksi langsung, lebih ke arah kebutuhan emosional for our soul. Ini juga penting. Carilah orang2 yg nurturing, encouraging, empowering, yg bisa connect. Kadang connection tuh buka ngomong terus2an, bisa enjoy silent moment bareng jg udh sebuah connection dan gak sama semua orang kita bisa begini. 

Ok, balik ke bahasan awal, intinya mau cerita, baru sadar sampe detik ini dari jaman dating aplikasi booming (pas temen2 pake), I am not interest. Kalau isinya orang main2, ngapain? Kadang kita serius berelasi baik even cm temenan, orangnya just for having fun ngisi gabut dan bosen di kantor dengan mainin jiwa kita tanpa mikirin kehidupan dan keadaan kita apalagi dampak ulahnya sejauh apa. Kalau intentionnya begitu, ya tulis jelas aja di profile jd fair (ketemu yg sejenis dan gak harming orang2 lain yg murni tulus/ serius/ beneran menghargai).

Monday, May 22, 2023

Paradox

Sometimes I feel so paradox.
Kesepian, tapi males kalau cuma ngobrol receh dan interaksi surface
Require friends, tapi gak suka terikat bareng-bareng, pengennya bebas sendirian
Require intimacy, tapi gak suka terlalu nempel dan gak suka ditempelin, need a lot of space

Sometimes I am so clingy, sometimes I am a loner and highly independent
Sometimes I love people, sometimes I hate people
Sometimes I love socialize, sometime I love solitude

Saturday, May 20, 2023

Aware

(preface) Well, aku kemana-mana sendiri. Makan sendiri, tinggal sendiri, pergi sendiri, traveling sendiri, kerja sendiri, ke RS sendiri. Semuanya dikerjain sendiri dan sendiri. Dan tak jarang ku mendapati penilaian kasian orang terhadapku, padahal akunya biasa aja, happy aja, santai aja. 

(topik lain) Aku aware sekali, kadang suka tau orang gimana-gimana dari jarak jauh, just knowing aja (jangan tanya teknisnya gmn. orang2 aware dan intuitif pasti ngerti) ditambah rasa sayang terhadap sesama, kadang aku sering ngajakin orang. Misal aku aware ada org yg mau depresi, aku ajak keluar (olahraga atau pergi kemana) orangnya nolak karena pengen diem sendirian di rumah plus nganggep aku cari temen. Kasus lainnya, aku aware ada org mau burn out, aku tawari bars for released, orangnya beralasan ini itu dan anggap aku jualan. Aku aware ada orang mulai gak pede sama dirinya, aku ajak join usaha dan kerja bareng, dianggap cari temen dll. Pada aku tipe yang santai anteng sendiri, kemana-mana sendiri. Tennis sendiri ikut join group, renang sendiri, lari sendiri, clubbing sendiri. Sampe di momen menyadari, apakah kebanyakan orang mental taker? mencari keuntungan, cari temen, jadi tanpa sadar kalau ada orang ajak murni bukan untuk diri pengajak, dianggap cari temen ya? Padahal niatnya berkontribusi (bantu).

Akhirnya aku memutuskan ya kalau aware cukup aware aja gak perlu ada action. Berkontribusi sama orang yang emang asking aja. Daripada being missunderstood dan jadi dianggap ini itu, males jg. 

Friday, May 19, 2023

Recruitment

Mungkin HRD (yang merpresentasikan suatu perusahaan atau gerbang pertama) ingin mengetahui sedetail-detailnya tentang calon pegawainya. Dan informasi tersebut di dapat based on data. Bukan kemampuan cenayang atau cek-cek energy. Jadi beruntunglah orang-orang yang bisa bermain peran dan menampilkan image sesuai yang diinginkan. 

Ada beberapa hal yang gw amati gak efisien:
1. Meminta CV dan portofolio, lalu menyuruh isi form dimana semua jawaban pertanyaannya sudah ada di CV. Whats the point? Kalau untuk berkas, agar rapi sesuai aturan perusahaan, ya buat apa minta CV di awal? Seperti kerja dua kali, tidak efisien, dan monoton mengulang mengisi jawaban yang sama.

2. Too personal. 
Baru di tahap awal sudah ditanya hal-hal yang untuk sebagian orang privasi, seperti slip gaji. Tidak semua orang pindah kerja karena gaji dan perusahaan terakhir mencerminkan gaji terbesar di saat itu. Bisa jadi ada momen org kerja karena mendesak sampai rela dibayar 1/2 dari gaji sebelumnya. Dan apakah itu mencerminkan standard untuk gaji selanjutnya? Mungkin ada juga yang risih kalau ditanya keluarga apalagi buat pasangan yang cerai tidak baik, males banget jadi ke recall gak sengaja. Atau jadi bawa-bawa ortu, adik kakak untuk di kepoin perusahaan. Padahal kita manusia dewasa yang bertanggung jawab atas diri sendiri, untuk apa info keluarga diberikan secara detail?

3. Komunikasi. 
Ada yang sopan, ada yang seenaknya merasa "yg lamar yg butuh", ada yang boundariesnya bagus, ada yang baru calon udah seenaknya di kontak wa malam-malam di hari libur tanpa greetings. Mungkin banyak HRD bocah yang baru lulus, pengalaman less 10 years, gak ngerti sama dunai dan jobdesk calon (krn buka divisi baru misal), atau memang kepribadian masing-masing HRD nya yang begitu. Komunikasi ini termasuk menjelaskan secara terbuka tentang timeline jadi fair bagi dua belah pihak. 

4. Dan closure saat tidak lanjut dengan calon pegawai. Btw, ttg closure, untuk orang yang ok-ok aja sih ya santai di gantungin atau ghosting. Gmn kalau org nya lg struggle, krisis percaya diri, dll, ya bisa mempengaruhi self worth dan self esteem nya. Memang ini bukan urusan mereka, in my opinion, ya hal tersebut masuk ke dalam profesionalitas jg bentuk saling menghargai.

5. Kalau tes-tes sih ya biasa aja dan wajar. Karena hasilnya paling objektif daripada penilaian-penilaian lainnya yang mungkin bisa bias. Misal calon pegawai asertif menyampaikan tidak suka dikontak malam di hari libur untuk hal tidak urgent (tahap selanjutnya masih 2 minggu lg misal), HRD nya tersingung, terus jadi mempengaruhi proses rekruitment. 

6. Platform.
Selama masih calon, mungkin email pilihan terbaik. Ada rekam jejak, lebih profesional, dan terpisah dari hal-hal personal (seperti wa, kecuali orang punya 2 wa yang memisahkan pekerjaan dengan kehidupan pribadi dan bisnis lainnya). Menariknya, yang aku amati, orang komunikasi di wa lebih seenaknya (gak liat waktu, hari, kurang persiapan) alias ya seiingetnya aja. Kalau email, orang otomatis tau ini formal, sehingga spontan ada greeting pembukaan, isi, dan penutup. Rapih. 

Pernah tidak review sistem rekruitment? Apakah efektif dan efisien?
Jangan sampe malah jadi kehilangan calon pegawai super potensial.

Communication

Hiii apa kabar?
Saking space nya, bingung deh mau ngapain. Berasa lapangan bola kosong sendirian. Ok, aku mulai dengan mengurai hasil obeservasi, experience, dan hal-hal keseharian. 

Di unit dekat unit ku, ada suami istri yang setiap subuh-pagi berantem, dari mulai argumen, teriak-teriak, istrinya nangis, heboh. Hal itu terjadi hampir setiap hari (dulu sih setiap hari). Setelah suaminya pergi bekerja, luapan emosi istrinya muntah ke anaknya, ada aja yang diributin dan anaknya dimarahin, teriak-teriak lagi, bedanya sekarang yang nangis adalah anaknya. Nanti malam pas suaminya pulang kerja, ribut lagi tuh pasangan. Atau cara komunikasi dan usaha untuk tetap terhubung mereka memang seperti itu? Atau itu cara istrinya cari perhatian atau mengkomunikasikan emosinya? Menarik.

Kalau gw lg keluar, gatau deh apa yang terjadi. Cuma pola pagi dan malamnya seperti itu. Awal-awal keganggu, pagi-pagi mood udah di set ok, eh kehempas energy ribut. Malam udah capek maunya santai istirahat, eh kehempas drama mrk lagi. Lama-lama benahi diri untuk tidak terdampak.

Dari fenomena tersebut, ada beberapa yang aku amati: komunikasi.
Entah ada masalah ranjang, masalah finansial, kebutuhan emosional yang tak terpenuhi, ya komunikasi kuncinya. Jangan sampai menunggu masalah seperti benang kusut baru meledak emosi, dimana tidak menyentuh akar masalah sama sekali. Atau ada masalah malah menghindar, ini lucu ada orang yang sengaja pulang malam dari kantor karena malas di rumahnya (orangnya gak kenal, dapet cerita dari kenalan). Kalau menghindar, hanya kabur, ya masalahnya akan terus ada dan tidak selesai. 

Bukankah komunikasi tuh sama saja seperti komunikasi mau makan apa, dimana, lebih suka yg mana, gak suka apa, kurang apa, maunya apa, aku gak suka, aku maunya blabla, dll. Lalu di cerna, mencari titik tengah dan solusinya? Atau bisa jadi komunikasi hanya sebatas untuk di dengar, diliat, dipahami, alias seeking space and comfort safety place. 

Monday, May 15, 2023

Sopan Santun

Seberapa banyak orang yang menjunjung tinggi sopan santun namun tidak menjadi dirinya sendiri? Tidak berkata jujur? Tidak berkata lugas yang malah misleading people? 

Soft spoken, muter-muter, php, dll

Misal: Ada orang ngajak makan, kamu gak suka, terus bingung nolaknya, akhirnya gantungin pembicaraan. Atau beralasan sedang sibuk. Kalaupun jadi makan bareng, based on gak enak atau hitung2an gak rugi. Gmn kalau orang itu, orang yang jujur dan ada trust? Dia percaya saat kamu bilang sibuk meskipun artinya nolak karena gak suka. Dia akan percaya saat kamu bilang "next time" padahal artinya "jgn kontak2/ajak2 lg". Dia akan percaya kamu membuka diri padahal cuma karena gak enak.

Lucunya, masyarakat lebih bisa nerima oranng-orang sopan, being nice, even mereka tinggal bareng pasangannya tanpa nikah, pakai baju seksi, culas di pekerjaan, suka nyikut, hamilin anak orang, dll. Asal casingnya nice, sopan, santun, tangan terbuka menerima. Coba perhatiin deh...

Giliran ada yg blunty honest, straighforward, orang-orang gak suka dengan kalimat mentah nan lugas, dengan perkataan jujur tanpa filter, dengan attitude frontal. Meskipun orang itu baik, tulus, penyayang, loyal, jujur, bisa dipercaya. Orang udah pasang benteng. 

It's Okay

Semakin kesini, cara gw melihat perbedaan menjadi lebih santai dan toleran.
Selama memiliki value sendiri, apapun yang terjadi di luar terutama yang berbeda its totally fine.

Misal,
Ada orang living together without marriage, ya gpp.
Ada orang strict sama agama, ya gpp.
Ada orang gak  mau pny anak, ya gpp.
Ada orang masih ribut ttg hrs pny anak, ya gpp.
Ada orang casual sex kesana sini, ons, ya gpp
Ada org commit super loyal, ya gpp.
Ada org masih di supply ortunya, ya gpp.
Ada org rigid dengan segala dogma aturan sosial, gpp jg.
Ada orang mencintai 2 orang dalam waktu bersamaan, gpp.

Ada orang ini itu, meskipun berbeda dengan value diri, ya gpp. Bukan tidak peduli, namun benar-benar gpp. Its ok. I dont have any judgement at all. Duu gw banyak opini yang gatau jg lagi ngambil pov siapa aja dari mana aja. Semenjak belajar misahin mine and not mine, being tranquil and space are my dominant state. 

Saat masih ada orang ributin ttg perawan/tdk perawan dari selaput dara, patriaki, child free, split bill on the first date, I dont see all of that is problem. It just preference. Yang gw sadari, selama orang kenal dirinya, secure, tau value nya, apapun judgement dan tuduhan orang gak akan jadi masalah. Ini bukan tentang kita tidak bisa mengatur hal di luar diri, (in my opnion) tetapi seberapa secure diri kamu? Seberapa dalam mengenal diri? Sebrapa sayang dengan diri sendiri?

Saturday, May 13, 2023

Teman Baik

Waktu jaman masih banyak dogma, definisi teman baik tuh ya yang soleh solehah, yang berakhlak baik, yang ibdahnya rajin, yang berpendidikan baik, yang tutur katanya santun nan baik, yang pakaian dan tampilannya baik menurut normal sosial yang berlaku di masyarakat.

Seiring waktu, definisi teman baik berubah menjadi orang-orang yang nurturning (empati, validate, support, protect, menghargai, being present hadir utuh, menyirami layaknya tanaman yang berakhir terus tumbuh baik dan besar). Orang-orang yang memberikan ruang bertumbuh, tidak menghakimi, tidak banyak menasehati dari kacamata benar salah, yang menghargai pilihan diri, yang benar-benar real connection nya tanpa perlu ribet dengan norma/aturan/sopan santun. Kasarnya, kalau baik ya karena mereka sayang, bukan baik karena dogma agama atau sebatas sopan santun sosial. 

Saturday, May 6, 2023

Program dan Familiarity

Setiap ada issue patriaki, gw gak pernah ngerti apa yang dipermasalahkan dan apa yang jadi masalah. Sampe di momen sadar.... Gw tumbuh di lingkungan yang laki-lakinya bekerja tapi masih mau nyuci, beberes, masak, beli telor ke warung. Begitupun dengan perempuan-perempuan di lingkungan gw, semua bebas untuk sekolah dan berkarir, bebas untuk eksplorasi dirinya tanpa keharusan, jadi kalau memutuskan tidak bekerja dan mengurus rumah pun tak apa. Disitu sadar, gak pernah ngerti apa yang orang permasalahkan tentang patriaki sampai mengebu-gebu, ya karena tidak ada masalah dengan patriaki dan berada di lingkungan seperti itu. 

Menariknya, karena terbiasa dengan keadaan yang bebas tanpa patriaki, seiring perjalanan hidup pun gak pernah ketemu laki-laki yang patriaki. Mungkin pernah hanya saja ya gone dengan sendirinya atau diri spontan walked away tanpa sadar, jadi gak pernah berurusan dengan patriaki. 

Hal ini sama dengan issue-issue lainnya. 
Misal, orang-orang yang tidak pernah mendapati emotional abuse dan berada di lingkungan sehat, mereka bisa jadi gak ngerti apa yang bikin orang bisa ke abuse, ketemu abuser terus, ke abuse terus2an, dan heran kok gak pergi aja. Ya karena mereka gak pernah mengalami itu sebelumnya dan tumbuh di lingkungan penuh respect, nurturing, dan sehat, sehingga program alam bawah sadarnya ya menarik hal-hal sehat, sekalipun ketemu abuser ya gak match frekuensinya jadi gak kena. Lain halnya dengan yang dari kecil sering di abuse emotionally, itu sepanjang hidupnya akan terus-terusan / mudah ke abuse dan ketemu abuser-abuser, karena program alam bawah sadarnya fammiliar dengan hal itu, sehingga tanpa sadar "mencari"/ "nempel"/ menarik orang-orang sejenis yang familiar. Entah di abuse oleh temannya, pasangannya, koleganya, lingkungan sosialnya. Terus berulang.

Disini, yang disadari, saat sadar dengan program diri dan conditioning diri dari lingkungan tumbuh serta belief sistem orang sekitar semasa tumbuh, ya dibuang saja, apalagi jika tidak membuat kehidupan lebih baik. Langkah awal membuangnya ya dengan menyadari ada program tersebut dan biasakan diri being present dan terus sadar hingga akhirnya memiliki program baru yang lebih memberdayakan. 

Friday, May 5, 2023

5/5/23

Saat diri nyaman dengan diri sendiri, sayang terhadap diri sendiri, all needs met, tidak ada effort apapun untuk mengejar-ngejar orang atau siapapun, rasanya "mau temenan yaudah, tidak pun tak apa". Bukan karena sedang di kelilingi banyak orang, lebih ke arah sudah whole dengan diri sendiri. Lain halnya saat itu terjadi karena semua kebutuhan diri terpenuhi dari segi relationship (keluarga, pertemenan, pasangan, kolega), saat kebutuhan diri hilang (putus dengan pacar/ rengang dengan keluarga/ tidak ada teman di tnpt baru) maka akan mencari-cari orang lain lagi untuk mengisi void kekosongannya.

Jika sudah whole dengan diri sendiri, mau sedang sendirian tidak ada siapa-siapa ataupun saat semua kebutuhan relasi terpenuhi, akan memiliki attitude yang sama: tidak cari orang lain, tidak kejar-kejar orang, ya anteng sendiri aja sambil tetap membuka diri terhadap siapapun yang hadir dalam kehidupan.

Bergaul dan bersosialisasi sata diri memang kosong/kesepian/needs people, rasanya akan berbeda sekali saat diri memang sudah whole, nyaman dengan diri sendiri meski sendirian, secure, anteng. Dan hal tersebut terpancar juga ke sekitar, dan akan menarik orang-orang sejenis. Orang-orang yang secure anteng dengan dirinya sendiri, yang sudah tidak perlu di healing, yang sama-sama bisa build connection dengan tetap independent.

Hirarki dan Arogansi

Mungkin agak kurang nyambung judulnya. Well, 

Beberapa waktu lalu, gw melihat berita sepasang muda mudi ketahuan mesum, lalu di arak telanjang keliling kampung. Mungkin sebuah sanksi sosial dengan memberikan rasa malu. Sampe di momen saat perempuannya menutupi area vagina dengan tangan,a da warga menepis melanga tanggannya menutupi apapun bagian tubuh dua orang tersebut. Disitu muncul "apakah ini legal dalam hukum?", "apakah yang dilakukan warga tersebut tidak melanggar hak asasi manusia untuk menutupi bagian intimnya dari tontonan liar orang lain?", "apakah itu sanksi yang dapat memberikan jera atau justru trauma berkepanjangan?", "apakah orang-orang yang memergoki orang lain melakukan hal-hal yang dianggap melanggar norma normatif, jadi merasa berhak berlaku tanpa norma terhadap orang yang dianggap melarang tersebut?".

Dari berita itu, muncul kepo dikit googling, ketemu video remaja ketahuan mesum, vagina perempuannya dimasukan jari oleh warga sambil melecehkan "sudah tidak perawan" dikala sang perempuan teriak-teriak kesakitan sambil nangis. Dan itu semua di rekam sampai tersebar di internet. Saat liat itu, agak muncul geram sama orang-orang yang merasa berhak melakukan apapun terhadap orang yang dianggap salah, arogan. Persis seperti seorang dekan yang melecehkan mahasiswanya yang dianggap bermasalah dengan segala bukti laporan visual (text) tanpa pernah bertemu sebelumnya, interaksi, mengenal, dilecehkan dengan meremehkan diri mahssiwanya, membawa-bawa segala kehidupan mahasiswanya pasti bermasalah juga dan blabla, dikala sebelumnya disclaimer kalau dia tidak tahu (dan mau tahu) apapun. Its such arogansi. 

Arogansi orang-orang yang merasa benar dan melihat orang lain salah dimata normatif.
Arogansi untuk melecehkan, menghukum, tanpa adanya empati, logika jernih, bahkan menghargai dignity orang lain pun tidak. 
Arogansi karena memiliki posisi tertentu (penduduk lokal, lebih tua, jabatan, apapun itu yang dianggap hirarkinya diatas orang yang dianggapnya salah) dan aturan benar salah.

Fenomena yang menarik...

Tuesday, May 2, 2023

Memilih Orang Yang Tidak Memilih

Fenomena yang menarik, saat kita 
memilih orang yang tidak memilih diri kita,
mengejar orang yang tidak menghargai diri,
memberi orang yang tidak bisa menerima,
menunggu orang yang tidak akan pernah kembali.

Bagaimana jika seluruh energi, atensi, waktu, semuanya itu kita pakai dan berikan kepada diri sendiri?
Bagaimana jika diri sendiri yang justru paling berhak dan sangat bisa mengapresiasi itu semua?
Bagaimana jika yang sebenarnya rugi adalah orang yang tidak memilih kita dikala Ia tidak tahu seberapa besar dan banyak yang kita bisa kontribusikan untuk diri dan kehidupannya?
Bagaimana jika meninggalkan orang-orang yang tidak memilih diri, adalah sebuah kebaikan untuk diri sendiri?

Monday, May 1, 2023

Meninggalkan

Gw baru sadar sesuatu...
Setiap ninggalin sesuatu, kehidupan gw berubah jauh lebih baik.

Ninggalin orang yang harming dan unkind, tiba-tiba ketemu orang baru yang sangat berkontribusi in nurturing way.

Ninggalin lingkungan yang gak sehat, tiba-tiba ketemu lingkungan baru yang generate greater.

Ninggalin hal-hal yang sudah tidak relevan, tiba-tiba ketemu banyak peluang lain yang wow.

Sampai di momen, apakah tugasku di dunia ini untuk belajar tidak terikat oleh apapun siapapun dimanapun dan segera untuk meninggalkan hal-hal yang memang sudah tidak satu frekuensi? Intinya kembali kepada menyayangi diri sendiri. Saat sayang, maka akan mampu memprioritaskan diri. Sesederhana terus bertumbuh meski perlu ada yang ditinggalkan. Mungkin sekarang saatnya belajar loyal terhadap diri.