Thursday, June 20, 2019

Menjadi Dewasa

Menjadi dewasa tidaklah mudah namun perlu dilakukan jika diri ingin terus tumbuh dan mampu survive.
Menjadi dewasa adalah saat bisa menerima hal-hal diluar kontrol diri.
Menjadi dewasa adalah saat bisa menghasilkan sebuah keputusan besar dalam hidup dan bertanggung jawab terhadap resikonya.
Menjadi dewasa adalah saat diri fokus untuk terus tumbuh dan mampu belajar untuk memberi manfaat terhadap sekitar.
Menjadi dewasa adalah saat bisa berdamai dengan diri sendiri, masa lalu, dan hidup tenang penuh kedamaian.
Menjadi dewasa adalah saat bisa melepaskan hal-hal yang tak baik dan sudah tak relevan.

Itu defisini menjadi dewasa (menurutku).

Banyak manusia berumur, telah mampu menghasilkan banyak uang dan karir mapan, berkeluarga, Tapi membuat keputusan saja masih diikut campuri oleh orang lain, masih menyalahkan orang saat hal tak menyenangkan datang, masih belum bisa menerima keburukan diri, masih memegang masa lalu dengan penuh attachment, masih belum punya goal hidup selain hanya hidup berutinitas.
Menjadi dewasa tidaklah mudah. Butuh kesadaran dan keinginan untuk berproses.

Bukan pula hal menyenangkan. Namun dari situ, kita bisa naik ke level hidup selanjutnya,
menjadi manusia yang bebas, damai, dan paripurna.

selamat berproses :)

Korban dan Raja

Manusia diciptakan tak terlepas dari emosi.
Merasakan beragam emosi. nah dari emosi-emosi yang hadir, seringnya memposisikan diri sebagai korban atau raja?

Misal, kamu diselingkuhi, pada umumnya orang merasa kecewa, sedih, bahkan bisa sampe depesi. Nah dari emosi yang hadir, kamu merasa diri sebagai korban dan berlarut dalam kesedihan atau berusaha menjadi raja dari emosi kamu dengan berusaha mengedalikan perasaan yang muncul dan mengalirkannya ke hal-hal konsruktif. Apa yang biasa kamu lakukan? Menjadi korban atau Raja?


Seorang ibu memiliki anak yang sulit sekali dia kendalikan. Lalu merasa dirinya adalah korban dan satu-satunya yang diuji. Kerjanya meratapi, marah-marah, merasa diri tak berharga, hingga merasa berhak memarahi anaknya karena memposisikan dirinya yang paling menderita. Ia lupa kalau anak pun diuji, anak pun punya struggle nya, anak pun punya masalah. Jika sang ibu bermental raja, saat mendapati anak yang kurang compatible hingga sulit ia kendalikan, maka ia akan melihat itu sebagai tantangan, sebagai peluang untuk membuatnya tumbuh dan menjadi orang yg lebih bijak. Maka ia kana menerima, mengobservasi, belajar, beradaptasi, dan memperbaiki keadaan lewat perbaikan mindset dan mentalnya, maka tanpa sadar ia telah menjadi raja dari emosinya sendiri dan telah memberi contoh yang baik untuk anaknya.

Seorang anak sakit karena dirinya kurang menjaga kesehatan, lalu sedih karena harus opname di rumah sakit. Lalu keluarganya bilang "sabar ya sedang diuji". Pertama, si anak sakit karen kesalahannya, harusnya diajarkan taking responsibility dengan "ini kamu sakit karena kurang jaga kesehatan", lalu biar ia berfikir sendiri. Kedua, respon "sabar sedang diuji" tanpa sadar mengajarkan anak memposisikan diri sebagai korban dan orang tak berdaya. coba bandingin sama respon "wuih enak sakit, bisa istirahat badan dan pikirannya", maka ia kana melihat sakit sebagai suatu peluang positif untuk kebaikan dirinya, bahkan bisa menstimuli perasaan superior sehingga ia bisa mengendalikan emosi dan perasaannya. Maksudnya, ia jadi bisa merasa punya kendali terhadap keadaan dan dirinya.

Nah, dalam lingkungan kita sehari-hari, lebih sering ketemu orang bermental korban atau bermental raja?

Kalau lingkungan utama dan pertama kita (keluarga) banyak yang bermental korban, playing small, playing victim, maka tanpa sadar kita pun terbawa polanya dan mirip mereka. Untuk bisa keluar dari "turunan" seperti itu, cara pertama adalah cari lingkungan baru, bergaul sama banyak jenis orang yang beragam, reflektif instropeksi, self educate (edukasi diri), dan mulai pela-pela merubah diri.


Kadang untuk tumbuh lebih sehat dan waras, demi perbaikan diri untuk keturunan yang lebih berkualitas, kita perlu meninggalkan lingkungan yang tidak baik untuk menjaga diri dari kontaminasi hingga diri benar-benar telah sehat dan kebal terhadap kontaminasi tersebut. Pergi jauh dari keluarga bukanlah hal jahat. Jika memang lebih banyak mudharatnya, kenapa tidak? 

Mindset, mental, dan perilaku terjadi turun temurun. Gimana kita bisa sadar berada di lingkungan toxic dan diri punya banya "penyakit" kalau kita belum pernah melihat apa itu lingkungan sehat dan orang-orang waras? Bagaimana kita bisa tumbuh sehat dan memperbaiki diri jika berada dilingunga negatif yang menarik diri untuk terus sama seperti mereka? Gimana bisa memutuskan rantai tidak baik demi generasi yang lebih baik, jika kita tidak bisa memperbaiki diri?


Menjadi korban dan raja dari emosi sendiri adalah contoh kecil dalam proses perbaikan diri. Contoh kecil bagaimana mindset raja dan korban tertanam dalam diri seseorang lewat interaksi pertamanya dan lingkungan terdekatnya.

Yoga dan Meditasi

10 hari pergi ke suatu tempat, tiap hari yoga dan meditasi.
Kelas yang diikuti:
- Pranayama
- Qi Gong
- Yin yoga healing
- Yin and Myofiscial Release
- Kundalini Tantra Yoga
- Shamanic Breathworks
- Higher Self Meditation
- Active consciousness Meditation
- Healing Meditation
- Mindfulness Meditation
- Peacefull Meditation
- Yoga Meditation

Sehari bisa 2-3 kali ikutan kelas. 
Ikut dalam keadaan lepas obat, lagi manic irritable, PMS. Mood lagi super sengol bacok bawaannya pengen gebukin orang, terus berubah jadi super melodramatic nangis2, pokonya kaya rollercoaster dan intense. Entah kenapa tiba2 jadi agak reda, bisa ngendaliin perilaku dan emosi, bisa tidur proper, dan kebukti banget deh yoga dan meditasi bekerja dengan baik buat fisik, jiwa, dan batin gw. Bahkan syaraf kejepit dan lagi sakit2 badan mendadak enakan gt badannya. Kayaknya bakal gw praktekin tiap hari. Nah masalahnya, sekarang gw lupa detail teknisnya. Hahaha.

Intinya dari yoga dan meditasi, gw belajar untuk hadir pada masa sekarang, dengerin badan secara intuitif, connect sama diri sendiri, dan nge release tension. Pengen bahas satu-satu cuma gak janji hehe.

Wednesday, June 5, 2019

Attachment

Keterikatan.

Pernah gak punya suatu barang, pas ilang ngerasa kehilangan dan kesel banget?
Pernah gak saat ada saudara/ orang tua meninggal, ngerasa kehilangan dan sedih?
Pernah gak sedih saat gak bisa mudik dan ketemu keluarga?
Pernah gak sedih saat kehilangan uang banyak?
Pernah gak merasa keluarga harus baik dan nolong?
Pernah gak merasa pacar/ pasangan harus bisa menyenangkan diri?
Pernah gak dateng ke suatu tempat mendadak syahdu?
Pernah gak merasa cemburu?

Kalau pernah atau sering, berarti diri punya attachment sama hal-hal tersebut (harta, orang, tempat, kejadian, barang). Ada keterikatan atau punya ego kepemilikan terhadap hal-hal tersebut. Jadi saat kehilangan, ada perasaan sedih, marah, kesal.

Kalau dipikir-pikir, manusia punya apa sih?
Harta dan barang hanya titipan, orang tua/anak pun bukan milik pribadi, tempat hanya tempat, kejadian hanya kejadian. 

Kadang manusia merepotkan dirinya sendiri oleh attachment yang dibuatnya sendiri. 
Misal, baru bisa ketem keluarga di hari kedua lebaran, terus sepanjang perjalanan macet 10 jam nangis karena merasa jauh dari keluarga dan gak bisa dateng di hari pertama. Padahal hari kedua pun bisa ketemu, bahkan kalau niat silahturahmi, bisa dilakukan kapan saja saat luang tidak harus saat lebaran. Dan apa gunanya juga nangis meratapi dikala tidak merubah keadaan apapun, malah bikin makin ribet.

Contoh lainnya, saat ada kerabat/ keluarga/ anak/ oarng tua meninggal, kenapa perlu nangis? kenapa perlu merasa kehilangan? mereka hanya manusia yag Tuhan ciptakan dan takdirkan bertemu yang pasti akan ada batas waktunya berpisah. Mereka bukan milik diri, hanya titipan, hanya takdir. Lalu kenapa perlu menangis? karena ada bonding? karena telah banyak kenangan yang dijalani bersama? atau hanya karena ada attachment yang kuat?

Attachment bisa menguntungkan, membuat manusia merasa bertanggung jawab, ada sense of belonging, mengembangkan hasrat me-nurtuner sesuatu/ orang/ momen. Disisi lain, banyak merepotkan dan menyusahkan diri sendiri dengan segala pemikiran-pemikiran yang berkembang dari akar attachment. Seperti lebaran harus mudik, kalau gak mudik jadi sedih. Semacam orang tua/anak harus menolong, kalau gak ditolong langsung merasa gak berharga. Semacam harta adalah miliknya yang membuat diri secure, saat mendadak ilang banyak, langsung merasa miskin. Lupa kalau semua hal hanyalah titipan dan sesuatu yang tak kekal.

Semakin tinggi attachment diri terhadap orang/harta/mmen/tempat, semakin berkembang juga belief dan dogma, semakin tinggi juga keribetan dibuat diri sendiri, semakin tinggi tingkat stress dan kekecewaan yang dihasilkan saat seseorang/sesuatu itu hilang.

Shalat atau meditasi, (menurut analisa gw) membantu manusia melepas attachment-attachment itu, sehingga diri lebih bisa menerima, belajar ikhlas, legowo, dan hidup dengan perasaan ringan nan jiwa bebas. 

Berapa banyak attachment yang kamu tanamkan?

Berapa banyak attachment yang telah kamu lepas?