Wednesday, December 25, 2019

24/12/19

Banyak anak2 dari keluarga menengah-menengah kebawah yang “cacat mental” karena pola asuh yg buruk. Tidak jauh dari masalah finansial, ortunya meledak muntah ke anak saat frustasi, anak nangis sikit di bentak, anak gak nurut dikit di abuse. Frustasi gak bs menghadle masalahnya sendiri. Apalagi kalau istrinya kesel sama suami yg nafkahnya kurang “bapak kamu tuh blabla”, anaknya jd pelampiasan jg. Apalagi kalau istrinya lbh gede gajinya lalu suami merasa jatuh harga diri, meledaknya ke anak. 

Banyak pula anak2 dari keluarga menengah-menengah ke atas yg “cacat mental”. Terabaikan. Karena ortunya pada sibuk kerja bahkan sibuk dgn selingkuhannya masing2. 

Mau kaya mau miskin mau nenengah, kalau seseorang blm matang secara mental, dewasa secara pikiran, dan baik secara agama, anak jd korban. Pdhl anak itu titipan. Logikanya, kalau kamu dititipin barang sama orang, yg kamu lakuin apa? Orang2 beriman baik akan amanah menjaga dengan baik. Orang yg miskin tanpa iman akan ngejual/ dipake sendiri. Orang kaya tanpa iman akan diabaikan tuh barang krn merasa bs beli lg. 

Urusan anak gak sepele (in my opinion). Bakal dimintai pertanggung jawaban dunia akhirat poh itu. Maka ganjarannya si anak harus nurut krn tanggung jawab sebagai orang tua besar (jika dijalanin dengan baik maka anak gak bs ngebales apapun). Realitanya hal itu hanya dipake sebagai bentuk kekuasaan untuk mengontrol anak. “Surga itu di telapak kaki ibu, jgn ngebantah ya” (saat anak aserif). “Jd anak jg ngelawan. Dosa. Masuk neraka” (saat anak gak mau jd PNS/ gak mau nikah sama pilihan ortunya/ saat beda pendapat). 

Susah jd anak. Kaya boneka. Ya boneka ketidakpuasaan ortu akan dirinya, boneka samsak pelampiasan emosi ortu, boneka ngurusin akhirat ortunya. Ini hanya terjadi dengan keluarga disfungsi yg ortu nya pda gak “waras”. Sayangnya banyaaaak. Krn orang berkeluarga gila hirarki macem di kantor, landasannya mendapat hormat dgn anak nurut dan mendapat kebanggaan atas pencapaian anak jd banyak tuntutan, bukan landasan unconditional love dan nurtuner sesuai nature anak masing2. 

Aku blm pny anak, hanya memposisikan sebagai pengamat dan sebagai anak dr ortu disfungsi. Semoga saat jd orang tua bs jd orang dewasa yg bertanggung jawab secara fisik, finansial, mental, psikis, spiritual. Dan ini dimulai dgn membenahi value dan pola pikir ttg pernikahan. Untuk apa nikah? Kenapa mau nikah? Kenapa harus nikah? Untuk apa? Lalu kenapa harus punya anak? Untuj apa anak? Dan untun apa kita hidup?

Apakah hidup sebagai rutinitas menjalakan aturan society kah? Lahir-sekolah-kerja-nikah-beranak-sibuk kerja- pensiun sibuk pengajian-mati-lalu berulang pd generasi2 selanjutnya tanpa benar2 tau apa yg diinginkan dlm hidupnya. Jika untuk beribadah, ibadah seperti apa? Dr jalur mana yg ingin dikejar? Sekolah pun masuk ibadah kalau tujuannya memanfaatkan kecerdasan yg Tuhan kasih dan ilmunya di aplikasiin bantuk banyak orang. Jd IRT pun ibadah, bekerja pun ibadah. Jalur ibadah banyak bs dr mana2, nah ini dipilih berdasarkan kesadaran diri kah? Atau hanya mengikuti pola atas2nya saja? Termasuk saat menikah, beneran buat ibadah? Tp kok jaga amanah Tuhan (anak) aja arogan dan abusif?

Tuesday, November 26, 2019

26/11/2019

Apa itu namanya keluarga, jika peduli dan baik pilih-pilih?
Pilih -pilih berdasarkan kedekatan, kesamaan nasib, dan kenyamanan?

Apa itu namanya keluarga, jika interaksi jika dirinya sedang butuh bantuan?
dan mendekat jika diri ini sedang berada di puncak?

Apa itunamanya keluarga, jika banyak menghakimi dan mengatur seolah-olah paling tahu yang terbaik?

Apa itu namanya keluarga, jika tak ada support di kala sulit dan penerimaan terhadap diri?

Apa itu namanya keluarga, jika hadir di acara keluarga lain atas dasar tidak enak?

Apa itu namanya keluarga, jika baik atas dasar timbal balik atau karena ada tujuan tertentu?

Apa itu namanya keluarga, jika memberi angpao di hari raya kepada keponakan berdasarkan keadaan finansial orang tuanya seperti santunan fakir miskin? bukan atas dasar sayang dan kasih terhadap keponakannya.

Apa itu namanya keluarga, jika cari aman dengan jaga jarak saat sodaranya sedang bermasalah?

Apa itu namanya keluarga, jika senang membicarakan kekurangan saudaranya lain secara massal dengan keluarga lainnya?

Apa itu namanya keluarga, jika tak ada apresiasi terhadap pencapaian saudara lainnya?

Apa itu namanya keluarga, jika sakit hati terhadap saudaranya yang lain, langsung membuat kubu dan menarik masa untuk ikutan memusuhi?

Apa itu namanya keluarga?
Apakah darah selalu lebih kental daripada air, membuat semua pembenaran terhadap hal-hal yang sudah tidak sehat dan merusak?
Apakah hubungan darah, membuat ikatan untuk terus bersama meski mengerorogoti jiwa diri?

--------------------------

Monday, November 25, 2019

25/11/19

Sebentar lagi 2019 mau selesai.
Terimakasih untuk waktu yang masih bisa dirasakan,
Terimakasih untuk segala ujian yang masih dipercayakan,
Terimakasih untuk segala pembelajaran yang hadir,
Terimakasih untuk segala pertemuan yang terjadi,
Terimakasih untuk segala pertolongan yang datang,
Terimakasih untuk bisa berterimakasih.

Saturday, November 16, 2019

16/11/19

Ku cuma manusia biasa yang punya kekurangan dan berdosa juga. Hanya ingin mengutarakan apa yg ada di pikiran.


Jaman sekarang banyaaak banget yang berhubungan badan (zina) tanpa ikatan pernikahan. Yang penting suka sama suka, selesai. Dan pernikahan hanya sebatas kertas. Bahkan banyak yg bilang “lebih bermoral hidup bersama secara damai tanpa pernikahan daripada hidup bersama dlm pernikahan lalu berpisah”. 



Bahkan salah satu dokter gw pernah bilang “sexual intercourse itu gak perlu nikah. Yg penting suka sama suka. Nikah hanya untuk tertib administrasi”. 



Ya gak salah. Kalau diliat dr sudut pandang mereka ya benar. 



Karena ada pola pikir seperti itu, maka banyak jg orang yg nikah krn ngebet pengen sex. Atau krn banyak orang nikah untuk halal secara sex makanya pola pikir sex tanpa pernikahan itu muncul ya?



In my opinion,
Gatau kenapa di dasar hati terdalam, gw sangat menjauhi zina. Ketemu orang pernah zina aja suka mual (pdhl awalnya blm tau dia suka zina), ada perasaan jijik gt meski cm mild.  Zina memang gak ada urusannya sama moral. Zina haram, sesuatu yg di larang oleh Allah, berarti dampaknya besar. Yang analisa efeknya mungkin gak terjangkau oleh akal manusia. Buat saya, agama diciptakan untuk “mengatur”, dan memberi “petunjuk”. 



Gw lepas jilbab, dosa? Iya. Dosa gak ngikutin aturan agama. Tp gak ada yg berubah sama diri gw selain penutup kepala. Orang ttp respect, gak ada yg macem2. Sampe mikir, respect itu di dapet dr menjaga kesucian bukan sebatas penampilan (in my opinion). Nanti ada aura yg bikin orang respect aja. Sama kaya orang yg blm pernah zina merasa mual di sekitar penzina. Kayaknya secara natural ada reaksi2 seperti itu, gatau kenapa. Coba perhatiin dan rasain sendiri deh...



Tp kalau masturbasi gw setuju. Selama GAK MEMBAYANGKAN/ BERFANTASI APAPUN alias fokus sama badan sendiri semacam garuk tangan krn digigit nyamuk. Masturbasi yg bener2 self love dan explorasi untuk mengenal badan sendiri. Dan dilakukan secara sadar krn diri butuh tp terbatas fisik (gak bs olahraga berat misalnya), jgn krn terstimuli film2 porno (big2 no bgt ini gak bagus buat otak). Gmn ya jelasinnya, intinya masturbasi jg butuh awareness yg baik biar sampe ke titik bukan sekedar carnal desire doang. 


Tuesday, November 12, 2019

12/11/19

Kalau semua orang berbuat baik atas dasar
- tuntutan profesi
- aturan sosial
- tata krama
- takut dosa
- biar dapet pahala
- biar gak dibenci
- biar gak keliatan buruk
- biar image dan reputasinya terjaga
- biar orang balik baik
- biar urusan jd mudah
- dsb

Ku jadi bertanya2, 
Apakah orang baik murni karena hatinya sayang sama makhluk hidup lainnya itu beneran ada?

Giliran ada yg murni baik karena hatinya sayang thdp semua makhluk, hidupnya abis dimanfaatin dan dijadiin keset orang. 

Sunday, November 10, 2019

6/10/19

What Is.

Melihat realita merah sebagai merah, biru sebagai biru, kotak sebagai kotak.

Tidak semua orang baik ingin berteman. Ada yang karena sopan santun, tata krama, basa basi sosial, menjaga hubungan (agar tak punya musuh), adapula karena kepentingan. 

Tidak semua orang cuek jahat. Ada yang karena bertoleransi, ada yang karena sibuk dengan dirinya, ada yang karena sedang punya issue, ada yang memang tak peduli.

Pergi ke sebuah pulau, mengajak teman bertemu, ia menolak. Tak bertanya, tak mau diajak bertemu, menolak kontak, dan tak berusaha bertemu. Ya berarti memang begitu. Tidak ingin bertemu dan mungkin tidak menganggap diri sebagai temannya juga.

Ada yang tau di pula, langsung bertanya lokasi diri dimana, mengunjungi, bersilahturahmi, bahkan menawarkan diri untuk menemani jika masih di sana. Ya berarti menganggap teman, karena usahanya mutual. Sama-sama bertemu, berusaha, dan mengapresiasi.

Untuk sebagian orang, melihat dan menerima realita adalah hal mudah. Untuk sebagian lainnya, mungkin sulit. Terbayang-bayang "what if" dan terjebak ilusi positif pikiran sendiri meski jelas-jelas sudah beracun atau hubungan hanya satu arah (pertemanan/ pekerjaan/romatisme), hanya satu pihak yang berjuang.

Perlu belajar melihat kenyataan sebagaimana nyatanya sesuai fakta. Setelah itu butuh kemampuan menerima realita tersebut dengan netral (mindfulness).

Semenjak yoga dan meditasi, kemampuan melihat dan menerima realita meningkat.
Thank you diri sudah belajar.

16/10/19

Bulan ini, ada yang dipelajari.
Menjadi dewasa adalah ketika diri tak perlu menjelaskan sesuatu, menjustifikasi, berusaha mengontrol orang dan keadaan, dan menerima saat diri disalahpahami.

Orang akan menangkap sesuai kemampuan dan pemahamannya masing-masing. Hal itu bukan tanggung jawab diri untuk membuat orang mengerti sesuai dari apa yang dimaksud dan dari perspektif diri.

Membiarkan orang memiliki ruang berfikirnya sendiri. "Nanti juga ngerti sendiri". Dan saat kebaika ataupun kebenaran disalahpahami, hal yang perlu diingat: kebenaran tetaplah kebenaran sekalipun tak diungkapkan. Kebaikan tetaplah kebaikan yang akan dibalas adil oleh semesta, tak perlu menjelaskan maksud diri.

10/11/19

Banyak masa sulit datang silih berganti, 
Orang yang dianggap dekat, dianggap keluarga, dianggap teman, hilang.
Sulit dalam keadaan sendiri, orang-orang itu hanya ada dikala diri mereka sedang sulit dna butuh orang sebagai pendengar dan tempat sampahnya. Giliran diri lagi super susah melebihi kesulitan-kesulitannya, mereka byebye.

Bukan hidup namanya jika tidak adil, karena semesta adil, Tuhan maha baik.
Ia datangkan orang-orang tak di duga dari arah yang tak disangka-sangka untuk memberikan oencerahana, membantu, bahkan ada yang menemai dalam setiap (sejauh ini) masa sulit. Dan dikala kesulitan itu telah terlewati, orang-orang ini hilang dengan sendirinya, namu tetap ku ingat dalam hati dan mendoakan diam-diam semoga kehidupan mereka selalu diberkati dan dipermudah.


Wednesday, November 6, 2019

6/11/19

20:20
I am so Happy.

Semalem tidur malem jam 11an, terus jam 4 pagi pas subuh bangun, tidur lagi. Bangun jam 8an masih super ngantuk, lemes, tiduran di kasur sampe perut bunyi-bunyi. Akahirnya jam 10 paksain diri keluar kamar dan beli makan (gak go food), biar badan gerak dan kena matahari. Pulang dari makan bubur, minum arcalion (vitamin otak dan biar gak lemes), tetep aja lemes. Tidur seharian, males banget keluar. Banyak yang pengen dikerjain tapi fisik gak mendukung. 

Sore. tiba-tiba tante kosan ketok kamar, ingetin bayar kosan. Sebenernya bayar besok gak apa-apa. Akhirnya abis maghrib maksain diri keluar rumah, belanja buat stock makanan dan ke atm. Udah pilih go car, tiba-tibe feeling gak enak, akhirnya ganti gojeg. Gojeg datang, baru keluar jalan gede langsung macet gak gerak, gataua da apa, macet dari segala arah gak gerak sama sekali tuh mobil-mobil. Disitu aku happy, happy ngikutin insting yang ternyata membawa pada kebaikan (naik gojeg dan gak kena macet lama-lama), happy percaya sama insting sendiri, happy bikin keputusan yang tepat. Terimakasih diri telah belajar untuk kembali percaya pada insting diri sendiri. I am so happy. 

Terus pulang, langsung seger badan, ON gw malem kayaknya nih otak dan fisik. Langsung food preparation dengan bersihin, potong2, masukin wadah dan taro kulkas. Terus beres-beres kamar, makan cemilan lumpia semarang (akhirnya kesampan) yang di beli di supermarket tadi, asin sih ya yaudahlah hehe. Terus sekarang lagi nulis blog. 

Udah mau cerita itu aja. intinya happy percaya sama insting sendiri dan bikin keputusan yang tepat.


Saturday, October 12, 2019

Penerimaan

Stasiun padat berisi, hilir mudik orang memenuhi ruang dengan gema pengeras suara bercapur teriakan manusia satu sama lain memanggil dan mencari.

Aku duduk dalam diam memperhatiakn orang yang berlalu lalang, mencari seorang sosok temannya teman yang akan pergi bersama. Tiba-tiba ada mata yang saling bertemu, ada perasaan sepertinya ini orang yang dicari, ternyata benar. Namanya Vilda, teman satu kampusnya Ratih. Ratih adalah seorang yang mengantikan ku di kantor setelah resign. 

Kami bertiga masuk ke dalam kereta. kereta bisnis yang seperti kereta ekonomi. Dengkul saling bertabrakan antar penumpang di depan. 8 jam berlalu, sampai di sebuah stasiun pagi buta dengan udara dingin nan lembab. Kota yang terkenal dengan makanan gudeg nya. Kami melanjutkan perjalanan menuju rumah bude nya Ratih.

Sampai rumah, kami bebersih, lalu bersiap tidur mengganti waktu tidur yang hilang sepanjang perjalanan yang habis dipakai mendengarkan seorang bapak di depan kami bercerita panjang dan menahan rasa tak nyaman badan duduk berjam-jam. 

Mata baru terpenjam, alarm telepon genggam milik Vilda berbunyi. Aku yang sangat lelah dan baru hampir tertidur mendadak kesal, satu bantal terlempar keras menuju Vilda oleh tanganku. Vilda dengan gesit mematikan alarmnya. Lalu kami bertiga tidur.

Bangun tidur, bersiap-siap untuk jalan-jalan. Vilda tak membahas soal bantal melayang dengan kasar atas perbuatanku. Kami tak membahas dan tak mempermasalahkan. Lalu teringat, jika kejadian itu terjadi pada orang lain, mungkin orang akan marah, akan membalas, akan bermusuhan, namun tidak dengan Vilda. Ia menerima dan bertoleransi terhadap sikapku yang memang tidak baik. Disitu ada sebuah penerimaan, penerimaan terhadap keburukan orang lain, penerimaan terhadap keadaan seseorang, sebuah toleransi dan empati.

Thursday, October 10, 2019

New Life #1

Hari kedua memulai kehidupan baru.
Semalem gak bisa tidur karena ada suara mesin air berirama, bikin stress dengernya.
Sehabis adzan subuh sempet ketiduran sejam, bangun-bangun mendadak insecure. Terus panik, terus cerita ke temen, terus idiingetin tujuan awal dan jalanin step by step. Jadi tenang lagi hahaha.

Tuesday, October 1, 2019

1/10/19

Gak kerasa 3 bulan lagi 2020.
Gak kerasa sudah setahun lebih bolak balik psikolog dan psikiater.
Gak kerasa umur terus berkurang dan bentar lagi ulang tahun lagi.
Gak kerasa syaraf kejepit belum sembuh-sembuh.
Gak kerasa sakitnya jadi ngembet di punggung atas.
Gak kerasa uang habis banyak untuk berobat.
Gak kerasa banyak yang sudah dipelajari, banyak "puzzle" yg selesai.
Gak kerasa diri semakin aware dan terus membaik.
Gak kerasa adik ipar sudah mau lahiran.
Gak kerasa sudah mulai melepaskan attachment2.
Gak kerasa warna rambut sudah hampir pudar.
Gak kerasa badan naik 6kg dalam 2 bulan.
--------

Hari ini akhirnya memutuskan kembali ke psikiater dan mulai mau minum obat tambahan. Depresi gak kelar-kelar. Kembali ke dokter Cecilia di rumah sakit kesayangan, Awal Bros. Tak disangka konsultasi ada terapinya. I feel better dan pikiran lebih bener dikit, banyak pencerahan. Obat mulai diminum malam ini, semoga efek sampingnya baik-baik saja.

Thursday, September 26, 2019

Baba

Sebuah ruang penuh manula menunggu giliran terapi dan dokter. Ada sebuah ruangan kecil di dalam ruangan itu, ruangan orang berkonsultasi dan diperiksa. 

Pintu ruangan terbuja dengan teriakan sang dokter memanggil pasiennya. 

Masuklah si Baba.
Baru membuka pintu, sang dokter penuh senyum dengan posisi duduk condong ke depan berkata “kenapa?” Dengan suara halus penuh kasih bagaikan seorang ayah yang menanyakan “kenapa” ketika anaknya nangis habis jatuh dari sepedah. 

Baba sadar apa yang dimaksud oleh dokternya. Ia sadar sang dokter bertanya tentang perasaanya, perasaan sedih yang ia ceritakan sebulan yg lalu lewat pesan tertulis. Ia mendadak sedih, ingin menangis. Sedih karena selama ini tak pernah dapat kasih sayang dan empati orang tua seperti itu. Namun, Baba menahan perasaannya, mengendalikan ekspresi wajahnya. Dan berkata “ini dok kaki saya sakit-sakit lagi”.

Sang dokter kembali berbicara “kemarin teman saya menelepon, katanya sedang sedih. Saya tanya kenapa, dia tak menjawab”. 

Lalu Baba kembali menarik pembicaraan pada sakit kakinya “dok, ini sakitnya dari pinggang”.

Sang dokter tak mengubris, kembali bercerita “teman saya itu punya trauma dari sd, sudah 35 tahun traumanya masih dibawa-bawa.”

“Dok, saya tidak diperiksa?” Ungkap Baba.

Sang dokter pun berhenti sekejap lalu berkata “ya boleh deh”. 

Lalu baba diperiksa. Setelah itu kembali duduk, sang dokter pun kembali bercerita. Namun keadaan semakin emosional. Baba memutuskan untuk cepat pergi dari ruangan tersebut sebelum air matanya tumpah. Dokternya paham, dan berkata “kamu kalau ada apa-apa, chat saya aja” sambil ikut meninggalkan ruangan tersebut. 

Semakin sedih lah hati Baba. Sudah dapat empati dengan pertanyaan “kenapa”, sudah dapat insight dari cerita dokter tentang temannya, ditawari kasih sayang juga. Dan kesedihan semakin mendalam ketika ia menyadari bahwa ia mendapat kasih sayang justru dari orang lain, orang yang dikenalnya di rumah sakit, tak ada hubungan darah, tak ada urusan personal apapun. Dikala ia tak pernah dapat empati tersebut dari orang tua nya sendiri, orang pertama yang ia temui saat lahir di dunia, orang yang ada hubungan darah. 

Sepanjang perjalanan pulang, Baba nangis. Padahal dokternya biasa saja, baik terhadap pasien, senang menolong. Namun untuk keadaan Baba, itu menjadi hal yang tak biasa, terlalu intense dan emosional. 
——

Semesta memang adil.
Selalu memberikan kebaikan.
Hanya kadang justru diri yang tak siap menerima kebaikan itu, entah karena merasa tak pantas, tak berharga, tak mampu, terbayang-bayang kata-kata negatif orang tua abusif “kalau keluarga tak mampu menerimamu, apalagi orang lain”.

Padahal kenyataannya, banyak orang yang sayang pada dirinya, banyak orang yang mau menerimanya, banyak orang yang peduli. 
——

Untuk siapapun yang merasa kamu tak pantas dicintai, tak pantas disayang, tak ada yang mau menerima, berhentilah percaya itu semua. 

Kamu pantas disayang, dicintai, dan diterima. 
Jika tak dapat dari orang tua dan keluarga, semesta luas sekali, akan banyak tempat dan manusia yang bisa cocok dan sayang padamu. 

26/9/19

Suami tukang selingkuh dan ngutang. Istri bertahan berharap suaminya akan berubah. Realitanya terjadi berulang dan makin memburuk. Dan istri tetap bertahan dengan harapan suatu kelak suaminya berubah. Hingga kerja keras menggumpulkan uang, membawa pergi haji dengan harapan pulang membawa perubahan pada suaminya. 

Lalu, suaminya berubah? 
Tidak.

Tetap hobby main, hobby ngutang, hobby foya2. 

Istri tak berhenti berusaha, terus berdoa dan berharap suaminya berubah. Dengan segala banyak penyangkalan suaminya buruk, dengan segala banyak pembenaran untuk bertahan, dengan segala citra keluarga baik yang terus di tampilkan di depan publik. 

Tanpa sadar puluhan tahun telah lewat, ia terjebak pikiran dan khayalannya sendiri untuk merubah suaminya hingga lupa untuk merawat anaknya dengan baik, bahkan menanamkan segala sifat delusi dan kondependesi terhadap anaknya. Anaknya menjadi seperti dirinya. Dan pola berulang. 

Berakhir sia2. Berharap manusia berubah dikala yang bermasalahnya pun tak sadar dirinya bermasalah ataupun mau berubah. 

——
Lalu memperjuangkan keluarga besarnya bagaiman dewa. Semua yang susah dibantu seolah-olah tanggung jawabnya. Empati terhadap keluarga besarnya tinggi sekali karena merasa ia sudah hidup puluhan tahun bersamanya. Sedangkan terhadap anaknya, acuh, tak ada empati, ataupun hubungan mendalam hati ke hati. Karena merasa “siapa kamu? Kamu gak lebih lama kenal dengan saya dibanding keluarga besar saya”.

Ibunya menelepon kesepian di kampung, langsung di datangi, meninggalkan anaknya yang sedang sakit sendirian.

Keluarganya lagi susah, di tolong, dikasihani, anaknya sedang berjuang keras dan kasepian diabaikan.

Hingga akhirnya ia melihat bahwa keluarganya hanya memanfaatkan, bahwa keluarganya hanya peduli dengan keluarga inti masing-masing, kalau keluarganya tak sebaik setulus imajinasinya, kalau keluarganya tidak seberusaha keras menjaga hubungan dan menolong seperti yang ia sering lakukan, bahwa hubunganya tak seimbang antar dua pihak. Dan penyangkalan pun terjadi, tak mampu melihat realita, tenggelam dalam kesedihan dan imajinasi kebaikan keluarganya yang biasa aja namun diagungkan. 

———
Sebagai manusia, perlu belajar melihat sesuatu sebagaimana sesuatu itu secara nyata, tak dibumbui harapan ataupun ilusi. Ada kalanya perlu diperjuangkan, ada kalanya tau kapan harus berhenti. Berhenti demi kehidupan yang lebih baik. Memperjuangkan orang yang tak mau berjuang hingga merusak banyak jiwa lain yang patutu diperjuangkan itu sebuah penganiayan, alangkah tidak bijaknya. 

Disini butuh batas. Batas kapan merasa cukup untuk mengakhiri sebuah hubungan beracun. Setelah 3x di selingkuhi kah? Setelah 3x rumah di gadai suami tanpa izin hanya untuk foya2 kah? Setelah 3x dipukul kasar kah? 

Batas. 
Sebuah upaya untuk menjaga diri tetap waras. Sebua upaya untuk menghargai diri sendiri.
Sebuah upaya untuk menciptakan hubungan yanh sehat.

Manusia tidak bisa menyenangkan semua manusia. Ada kalanya dibenci, ada kalanya di tidak sukai, ada kalanya di caci, biasa saja. Selama tidak merusak orang lain dna merusak diri sendiri. Orang mau sepakat/tidak, senang/tidak, ya tak apa. 

——
Selama diri tau diri seperti apa, apa yang dimau, apa yang dikejar, apa yang dikerjakan. Yausudahlah orang mau berbicara apa.
Nilai diri tak ditentukan oleh komentar orang, karena diri dibenci di suatu tempat, bisa jadi di tempat lain malah disayang banyak orang. 

——
Seandainya kamu tahu seberapa rusaknya kamu, seberapa banyaknya luka batinmu, seberapa banyaknya issue masa lalu yg tak terselesaikan, seberapa besarnya kamu merusak hidup anakmu lewat kurangnya perhatian, empati, menghancurkan kepercayaan diri, keberhargaan diri, dan menanamkan perasaan tak pantas dicintai hanya dengan sibuk mengurusi orang lain hingga kurang memenuhi kebutuhan emosi anak dan menanamkan kata-kata baik hingga anak tumbuh dalam perasaan kosong, tak berharga, tak mampu, hingga dihinggapi banyak penyakit mental merusak jiwa dan pikirannyaa hingga rusak masa depannya dikala potensinya luas biasa. Mungkin mati pun tak akan menghilangkan rasa bersalahmu. 
——

Dan saat anaknya sadar apa yang terjadi, ingin berusaha menjadi normal dan hiduo bahagia. Biarkan. Berhenti menanamkan rasa bersalah, berhenti bermain peran sebagai korban, berhenti menjadi manusia paling menderita dengan mengngkapkan segala perjuangan dan harapan imbalan yang tak sesuai imajinasi, berhenti menularkan sakit jiwamu. Jadikan sebagai bahan renungan. Renungan untuk menjadi manusia yang terus belajar menjadi baik. 

Jika tak mampu memperbaiki, maka jarak hal terbaik yang dapat dilakukan. Demi memutus rantai dan pola beracun. 

Saturday, September 21, 2019

Untuk ibu dan perempuan.

Menikah, melayani suami, hamil, melahirkan, punya anak, di kasih makan, di kenalin agama, di sekolahin, di nikahkan. Selesai. 

Sebagai anak, saya belajar. Seorang perempuan tugasnya lebih dari sekedar itu (diatas), menurut saya. 

Menikah harus atas dasar suka sama suka dan penuh tanggung jawab. Semacam ditanya “dulu nikah knp?”, orang tanggung jawab akan jawab “karena sudah siap menikah untuk beribadah dan membangun peradaban”, jawaban orang lepas tanggung jawab “ya dulu disuruh nikah ya nikah aja lah”. Sexual intercourse kebutuhan bersama mutual bukan sekedar menggurkan kewajiban sebagai istri, hamil perlu perencanaan dilakukan dlm keadaan mental dan fisik terbaik (menyelesaikan trauma masing2, menyehatkan badan, dan bertanggung jawab dengan memberi makanan baik lewat perasaan positif, nutrisi baik, pikiran positif, lingkungan positif). Melahirkan pun butuh mental yg baik, dukungan dari suami, tak peduli teknisnya mau vaginal ataupun cesar. 

Anak lahir, ia punya kebutuhan 

  • fisik (makan,minum,tidur,olahraga, pakaian, tempat tinggal)
  • Emosional (perasaan dicintai, dipahami, diterima, disayang, di dukung, ditemani). Ini di dapat lewat komunikasi hati ke hati, dipahami, diterima baik buruknya tanpa selalu menyalahkan, membandingkan, me reject, menekan, menuntut. Sesederhana menanyakan “td di sekolah ngapain aja?”, “temen kamu skrg siapa?”, “kamu sedih kenapa?”. EMPATI.
  • Spiritual. Bukan sekedar disuruh solat, ngaji, pake hijab, puasa. Diberikan awareness iman yg baik, diajarkan untuk menjadi lbh tenang dan dewasa, diberikan wisdom2 kehidupan sebagai bekalnya nanti. 
  • Intelektual. Ini pentingnya perempuan harus cerdas dan punya mental belajar untuk terus belajar. Anak gak cukup disekolahin, harus mampu jadi teman diskusinya, teman menjawab pertanyaannya sampai tuntas secara holistic (scientific, humanitarian, dan agama). Diarahkan pola pikirnya ke hal2 konstruktif, menjadi mentor kehidupannya. 

Anak kan bukan binatang yg dikasih makan, di sekolahin, selesai urusan. Ia manusia butuh kehidupan sosial dgn interaksi, butuh emotional connection dgn komunikasi hati ke hati guna mengembangkan EQ nya dgn baik, butuh mentor yg mampu membimbing ke tujuan dan cita2nya sesuai jati diri dan fitrahnya. 

Bikin anak gak mudah, hamil gak mudah, melahirkan gak mudah, ngurus anak jg gak mudah. Gak sebatas modal agama dan uang, butuh ilmu jg, butuh kedewasaan jg, butuh mental yg baik. Ya kalau mau anaknya baik. 

Bayangin deh, kamu minta anak baik sama Allah dikasih kaca yg bs bernilai milyaran. Tapi kaca itu gak kamu bentuk dgn baik, alih2 jd sesuatu yg indah, malah rusak sebelum berproses. Kamu minta anak yg baik, sama Allah dikasih grade A, tapi semua kemampuannya terbuang percuma karena keterbatasan ilmu dalam me nurtuner, bahkan byk potensinya yg gak keluar karena sering dicekokin hal2 negatif “mana bisa kamu”, “mana ada yg mau sama kamu”, “kalo mimpi jgn ketinggian”, “jadi anak bisanya cuma nangis”, “nyusahin orang tua aja”. 

Jiwa itu sama kaya fisik. Kalo dijejelin hal2 negatif, jadinya negatif, ngerasa sampah, ngerasa gak berharga, ngerasa gak mampu. Karena udah di program puluhan tahun dari kecilnya begitu sama orang tua yg frustasi dan bermasalah. Krn orang2 yg udah sehat secara mental dan batin dgn menyelesaikan semua unresolved issue nya, krn dirinya sudah positif, maka ia akan ngasih hal2 positif ke anaknya “wah hebat kamu udh bs gambar”, “wah hebat kamu jualan apel di sekolah laku”, “wah baik sekali kamu tidur tepat waktu”, “pinter sekali kamu mampu ranking 1”. “Kalau sedih nanggis aja gpp, kalau kesel ya lari aja, its okay to feel that, semua manusia jg gt kok”. Ia akan terus apresiasi anak, nurtuner anaknya, memberi cinta dan naikin self esteem nya. Dan ini hal terpenting yg bs diberikan ortu untuk bekal hidup anaknya (bukan sekolah, bukan materi, bukan makanan). 

Ngejar agama nyuruh solat ngaji puasa blabla. Tp kebutuhan2 lainnya terabaikan. Gak ada interaksi sosial, gak ada komunikasi, kebutuhan emosionalnya gak terpenuhi, gak diberikan arahan hidup, selalu dibentak, dipukul, disalahkan, dibanding2kan, diabaikan kebutuhan bekal duniawinya. Ya abis lah cuma jd sampah. Padahal anak ini bakal dimintai pertanggung jawabannya di akhirat nanti. Kan titipan. 

Dalam pandangan gw, modal sayang aja gak cukup. Butuh ilmu, butuh finansial yg baik, butuh kedewasaan, butuh keimanan yg baik dan aplikasi agama yg baik (bukan sekedar rutinitas, pelarian dr masalah, tameng defense). Baik menurut kita blm tentu hasilnya baik jika tidak dibarengi ilmu. Semacam saking sayangnya sama ikan, kasian liat ikan di air terus, alhasil diangkat ke darat diselimutin. Yg ada ikannya mati. Semacam saking sayangnya jd overprotektif sampe anaknya gak pny kehidupan sosial gak pny temen, kesepian, jd stress, EQ jd rendah, ujung2nya banyak masalah2 lain muncul ps dewasa. Niat baik tanpa ilmu tuh kebodohan terdzolim. 

Tugas perempuan bukan sekedar nurut suami, melayani, tapi juga menjadi edukator, fasilitator, mentor, teman, dan role model buat anaknya. Penting perempuan menjadi cerdas. Kalau perempuannya berkualitas, maka ia pun akan menarik orang sejenis dan selevel dengan dirinya untuk menjadi suaminya. Kasarnya, lo level 2 ya narik cowok level 2, pas punya anak sama Allah dikasih level 10 tp krn kemampuan lo berdua mentok di level 2, ya anak lo cm bs sampe level 2 jg, sisanya (8) ilang percuma sia2 gak dikembangakn dan terpakai sesuai fitrahnya. Kasian anaknya. Dan kalo udah gini jangan nyalahin anaknya yg kepinteran, harusnya orang tua yang terus belajar, kalau gak bisa ngimbamgi secara intelektual, minimal kebutuhan emosionalnya terpenuhi (kan cm butuh cinta dan EMPATI). Kalo materi ya selama kebutuhan primernya terpenuhi ya baik, gak perlu sampe nyiapin mobil/rumah buat anak. 
————
Si ini anak siapa, lulusan apa, gelarnya apa, kerja dmn, tingginya brp, putih nggak, dll. Itu mah urusan sepele. Superficial. Yg penting level dirinya selevel dan tipe yg terus terus berusaha, belajar, berkembang. Krn nikah bukan tolak ukur pencapaian, apalagi 1/2 agama berarti ilmu yg harus dipersiapkannya lbh banyak, mental hrs lbh kuat, iman hrs lbh baik, tandanya apa? Ya harus terus belajar. Perkembangan dan pertumbuhan diri jgn mentok sampe di tahap nikah aja. 
————-
Lahiran via vagina atau cesar; asi atau sufor; bekerja di kantor orang atau di rumah; itu mah hal sepele gak perlu diributin. Perempuan tetap utuh meski gak ada selaput dara, meski lahiran cesar, meski asi nya gak keluar, meski kerja dari rumah. Selama sesuai value, punya prinsip hidup, punya vision dan tujuan yg jelas. Fokusnya ke yang penting2 aja gimana caranya jalanin amanah Allah lewat anak (kalau memutuskan punya anak) tumbuh sesuai nature dirinya, bisa mekar di waktunya (jangan sampe mati sebelum mekar), fokus ke masa depan yg berdampak pada peradaban (ya nurtuner anak dgn baik). 

Beneran deh, otak tuh penting bgt dipake! Bukan buat ngitung2 hal detail dan berkalkulasi aja, tp dipake buat bikin vision, melihat big picture, bikin konsep, dan ngejalanin step by step nya. Hati jg penting dipakai, minimal belajar EMPATI deh dna berkomunikasi dengan baik, membangun bonding. Agama ya kepake ke semua aspek (kalau agamanya baik, dewasa, bijaksana, dan mampu berintegritas). 

*wuallahualam bishawab

Monday, September 16, 2019

16/9/19

Hati selalu jujur akan perasaannya, akan frekuensi yang diterimanya,
Hati, panca indra kasat mata, menerima pesan tanpa perlu kata dan bukti.
Hati-hati dengan hatimu, karena orang lain mampu merasakannya.

16/9/19

Cinta,
Tak sesempit rasa terhadap pasangan lawan jenis,
Tak sesempit rasa peduli terhadap keluarga,
Tak sesempit untuk orang-orang terdekat.

Cinta,
Penerimaan, kebaikan, kasih sayang, perhatian, dukungan, merawat,

Dokter memberi cinta terhadap pasiennya lewat perhatian dan dukungan.
Teman memberi cinta terhadap teman, lewat segala kebaikan, perhatian, dukungan, dan penerimaan.
Orang tak dikenal memberi cinta terhadap manusia lainnya lewat senyuman dan kebaikannya.

Luas sekali makna cinta,
dan tak akan habis, semakin banyak di berikan, semakin banyak pula cinta itu datang.
Tak perlu berhitung dalam mencintai, asal tak kehilangan diri asli.

Hanya saja, dalam society, ada aturan-aturan tak tertuis yang membatasi ekpresi cinta terhadap sesama. Dokter harus mampu membatasi rasa cinta terhadap pasiennya, dikala ia bisa memberikan lebih dan menyembuhkan dalam level yang lebih dalam untuk psikis yang mempengaruhi fisiknya. Teman harus membatasi cinta terhadap temannya yang berbeda jenis kelamin untuk menjaga hati pasangan dan pandangan society. Sesederhana mengurungkan niat untuk mengunjungi dan menemi temannya yang lagi di opname di luar kota, sekalipun rasa sayangnya besar. Manusia lain pun harus membatasi cinta terhadap sesama, tak bisa kita bebas mengespresikan cinta lewat sentuhan ataupun pelulan, meski sang pemberi dan penerima saling paham itu bentuk kasih terhadap sesama tak lebih dari itu.

Cinta, sebuah hal baik,
Cinta, sebuah hal positif,
Dalam ekspresinya pun terkekang segala aturan tak kasat mata, tak bisa bebas dilakukan, padahal setiap manusia butuh untuk mencintai dan dicintai. 

--------------
Kenapa ada manusia yang merasa tak dicintai meski harta berlimpah, semua kebutuhan fisik dan materilnya terpenuhi, dan punya status sosial yang baik? Karena ia MERASA tak diterima, tak dipahami, tak di dukung, tak di rawat, tak di beri perhatian yang cukup. Mau sebanyak apapun orang memberinya cinta, jika orang tersebut tidak merasa dicintai, maka cinta nya kurang, kebutuhan cintanya tak terpenuhi. Karena cinta dirasakan oleh penerima bukan pemberi. Orang merasa dicintai saat dirinya MERASA di cintai dalam parameternya masing-masing. 

Ada orang secara materil pas-pasan, keluarganya biasa, tapi ia tumbuh kuat penuh cinta dan merasa dicintai hanya karena orang tuanya bisa menerima dirinya baik buruk tanpa pernah membandingkan, me labeli buruk, dan mengucilkan.

Asa orang secara materil terpenuhi, sekolah dibiayain, orang tuanya cuti menemani di rumah sakit saat opname, tapi gak merasa dicintai. karena apa? karena ia tak pernah di dukung, gak pernah di dengar, gak pernah di pahami, bahkan tak peranh di rawat penuh kasih sesederhana ingin pipis disuruh panggil suster karena ortunya kesel tidurnya ke ganggu. 

Cinta, 
tak perlu hal besar, tak perlu mahal, tak perlu merusak diri.
berikan dengan tulus penuh kasih.
Karena sesuatu dari hati akan sampai di hati.
Sesederhana sebuah tatapan penuh kasih, penerimaan, dan dukungan, tatapan yang seolah2 berkata  "i know u can do it, i trust you" dalam diam, orang akan bisa merasakan dan jadi kekuatan buat dirinya tumbuh dan beraksi.
--------------

Cinta,
apa yang kamu rasakan?



Saturday, September 7, 2019

7/9/19

Salat satu bentuk kebebasan adalah mampu mencintai tanpa adanya attachment/keterikatan.
Mencintai tanpa harus bertemu, tanpa harus berkabar, tanpa ada perasaan insecure, tanpa ada hasrat ingin memiliki, tanpa ada keinginan menguasai.

Kebebasan perasaan/emotional.

Setelah menjalani hidup sepanjang 31 tahun, akhirnya sampai pada titik pembelajaran ini.
Melepas emotional attachment. Baru 2 orang yang mampu dilepaskan, rasa jiwa sudah seringan ini.

Thank you, Allah, for helping me cut the cord and break the attachment.

-------
Menuju kebebasan finansial, perlu kerja keras bekerja, percaya diri, dan disiplin.
Menuju kebebasan perasaan, perlu kerja keras melepas segala beban masa lalu dan segala keterikatan emosi terhadap orang-orang yang telah hinggap di hati. Belajar memaafkan dan mencintai tanpa syarat.
Menuju kebebasan pikiran, hanya perlu menjadi diri sendiri, jujur terhadap diri, dan berani bersuara tanpa takut akan penilaian orang. 

Dear myself, 
Thank you for improving yourself
Thank you for helping yourself.
Thank you for being yourself.

Wednesday, September 4, 2019

4/9/19

Thank you for loving me,
Thank you for nurtuning me,
Thank you for staying.

Friday, August 23, 2019

23/8/2019

bounaries pertama diajarkan di keluarga.
contoh, tentang kepemilikan barang.

Lahir dari dua lingkungan yang berbeda.
yang satu sangat rapih dengan barang orang. jadi gak boleh pake barang orang tanpa ijin, lebih baik beli sendiri, minjem kalau udah super mepet, dan itupun dijaga dan dikembalikan secepatnya. gak boleh masuk kamar orang seenaknya, gak ikut campur urusan orang, gak mengomentari pilihan hidup orang, kalau makan bareng bayar masing-masing. Kesannya seperti masing-masing, tapi dari boundaris yang sehat ini, maka sedikit sekali masalah yang muncul, karena masing2 orang jadi belajar untuk bertanggung jawab dengan dirinya sendiri dan tidak melaggar batas seseorang (finansial, materi, mental, emosional) sehingga orang lain pun merasa nyaman. boundaries yang sehat pun bikin kepercayaan diri seseorang jadi sehat jg.

yang satu, mungkin konsepnya ririungan/kebersamaan tapi jadi gak punya boundaries. Mobil orang dipakai tanpa izin, sampai kotor, pas orangnya mau pake, bingung mobilnya kemana. Masuk kamar orang tanpa izin, minjem barang orang tanpa izin, makan makanan orang di kulkas tanpa izin, seolah-olah apa yang ada di rumah itu milik bersama termasuk masalah orang-orangnya, jadi hobby ikut campur, ngomongin, interupsi pilihan hidup orang. Hasilnya ya muncul banyak masalah, karena nge cross limit orang secara materi, mental, emosiona, bahkan spiritual. Sesederhana pergi bareng, gak bawa alat mandi, mengantungkan pada orang lain. Padahal orang tsb bawa alat mandi sudah disesuikan dgn kebutuhan hariannya. Nolak dikatain pelit dan jd bahan omongan, ngasih tiba2 abis sebelum waktunya terus repot harus beli lagi. Jadi rasa tanggung jawa hdp diri sendirinya kurang, ada sikap mengantungkan pada orang lain, nge cross limit orang yang berakhir beragam masalah muncul.

sayangnya, orang-orang dengan boundaries yang kurang ini, gak akan sadar ada yg salah dan masalah di dirinya. Ia akan sadar  jika bertemu beragam jenis orang dan lingkungan DAN akan menjadi lebih baik jika ia bs ambil pembelajaran dan mau belajar.

Keluarga, lingkungan pertama seseorang. Jika di keluarga gak diajarin boundaries, agak sulit mendapati boundaries yang sehat kelaknya, tapi ini bisa diperbaiki (menurut gw sih hehe) selama orangnya aware dan mau lebih baik. Kalau gak punya boundaries, hidup kita bisa kacau khususnya secara emosional. Apalagi kalau salah satu orang tua kita punya gangguan kepribadian, misal  salah satunya dulu waktu kecil pernah berantem ma sodara terus dijauhin, trs jadi sakit hati dan trauma yang menghasilkan dirinya jadi people pleaser sampe dia tua (krn traumanya gak disembuhin, bahkan sadar dirinya sakit aja nggak), alhasil pas punya anak, kalau keluarga besarnya kenapa2,pasti selalu mendahulukan keluarga besarnya karena takut dimusuhin, anaknya jd terabaikan secara emosional dan berakhirnya punya gangguan menta bahkan jadi ketularan jd people pleaser jg dan ya gak akan bahagia hidup orang2 yg selalu mendahulukan orang lain dengan mengerus dirinya sendiri. minimal jd muncul anxiety.

--------------
konsep keluarga yang salah, akan menghasilkan mindset yang kurang baik yg akan menghasilkan perilaku yang memicu masalah dan berakhir gangguan mental dan kepribadian. Bingung jelasnnya. Konsep keluarga adalah segalanya, adik kakak nemenin hidup lebih lama dari anak sendiri sehingga harus di dahulukan, itu kan salah. Nanti di akhirat yg bakal ditanya dan dimintai pertanggung jawaban tuh ttg Anak dulu baru keluarga besar, karena anak itu titipan, kalau keluarga besar takdir pertemuan (kita jd adek/ kakak, tanggung jawabnya sebagai sodara).

Contohnya, anak sakit, ibunya di luar kota ulang tahun. Anaknya gak bisa ikut ke luar kota karena lagi sakit, trs anaknya dipaksa ikut, masalahnya kalau ikut yg ada malah makin drop meski cuma duduk di mobil. Akhirnya gak ikut, terus mamahnya batal ke luar kota menemui ibunya karena nemenin anaknya yg sakit. Normal kan?

Nah masalah muncul, ketika mamahnya sedih gak bisa dateng ke ulang tahun ibunya, tapi gak bertanggung jawab dengan perasaan dan pilihannya, akhirnya jadi marah dan nyalahin anaknya "gara2 kamu, mamah jd gak bs datang ke ultah nenek". si anak lg sakit, digituin, jd muncul perasaan bersalah, jd sedih jg merasa dirinya gak berharga dan gak pantes dapet cinta dari ibunya (karena kejadian model gini sering). Karena hal ini, si anak tumbuh dgn self esteem dan self love yg rendah. merasa bertanggung jawab dgn perasaan orang lian tapi lupa untuk peduli sama perasaannya.

contoh lain, ortu buka dan ngecek handphone anaknya diam2, daftarin sekolah tanpa diskusi/ngasih tau anaknya bakal sekolah dmn, pake harta benda anaknya tanpa izin karena merasa dirinya orang tua, jual aset anak yg dititipn tanpa izin, dll.

Ini contoh orang tua nge cross boundaries anak secara mental, emosional, dan fisik.
Dan jangan kaget kalau nanti anaknya jd gak punya boundaries dan gaka bs menghargai boundaries orang lain termasuk orang tuanya. atau malah jadi stress ang lama2 bs meledak jadi gangguan jiwa.
----------------

boundaries itu limit.
dimulai dari mengenali diri, tidur jam brp, bs tidur kalau keadaannya gmn, makanan apa yg bs di toleransi perut, gak nyaman dalam obrolan apa, gak nyaman saat pergi sama siapa, stress kalo uang punya brp, spiritual keganggu kalo apa, capek kalo aktivitas seberat apa, happy kalo ngapain, dll.

Manusia punya batas. punya toleransinya masing-masing yang saling berbeda. baik secara fisik, materi, emosional, mental, maupun spiritual, dan boundaries ini ada untuk menjaga semuanya pada tempatnya sehingga menghasilkan individu yang sehat jiwa raga. boundaries setiap orang beda2, gak bs ada istilah "alah cuma gt doang nangis", ya berati daya tahan mentalnya segitu, atau ada bahasa "ya duit masih jutaan, gak mau minjemin", ya batas uang amannya segitu krn dia jg pny kebutuhan lain yg udah diperhitungkan, atau komentar "cemen amat makan cabe satu mencret seminggu", ya berarti limit fisiknya segitu gak bs makan pedes.

-----------
Kalau udah terlanjur rusak gt boundariesnya sampe jd punya banyak gangguan di psikis dan fisik, jangan pesimis, bisa kok berubah asal diri sadar dan mau. Gak ada yg gak bisa, kalo ada orang bilang "gak mungkin" selama diri terus berusaha, cuekin aja. Dan progress orang beda2, ada yang emang pelan2 keliatan progressnya, ada yg dr luar gak keliatan tp tiba2 melesat berubah di akhir. Jangan underestimate apalagi jd pesimis "gak akan bs berubah! buktinya gak ada perubahan apa2". omongan orang tai kaya gt, sekalipun psikolog yg ngomong ttp aja tai, karena gak bs menghargai pola dan ritme pace nya orang.

Thursday, August 15, 2019

15/8/19

Lahir dari lingkungan beragama tp judgmental penuh dogma. Benar salah, dosa pahala, semuanya jadi hitam putih. Sibuk beribadah untuk bekal di akhirat tp males explorasi ilmu, nambah wawasan, dan mengembangkan diri. Hasilnya? 

Ya banyak yg sakit jiwa tp pada gak sadar.
Pola asuh yg ngaco,
Lingkungan yg toxic,
Awareness yg rendah,
Ilmu yg minim,
Wawasan yg sempit.

Ujung2nya malah bikin keadaan makin parah dan orang sekitar makin rusak.

Buat apalah jilbab diributin tp masih suka gosip ngomongin orang sampe orangnya depresi.

Buat apalah tiap shalat ke mesjid, kalau tiap hari abis banyak rokok yg asapnya ngerusak paru2 manusia sekitarnya.

Buat apalah silahturahmi kalau hanya formalitas tanpa kehadiran hati yg utuh.

Buat apalah doa doa kalau hanya sebagai pelarian dari kemalasan menyelesaikan masalah. 

Buat apalah mengaji tiap hari, kalau tak ada ilmu yang membuat diri semakin bijaksana.

Buat apalah nasehat jika empati melihat keadaan orang pun tidak ada, jika melihat masalah pun tidak bisa. 

Buat apa agama, jika hanya membuat diri semakin egois? 

Buat apa agama, jika membuat diri semakin menutup mata dari segala ilmu pengetahuan dan informasi lain?

Buat apa agama, jika hati tidak terbuka dan sayang terhadap sesama?

Buat apa agama, jika hubungan sesama manusia tak baik? 

Bukankah agama itu aturan yg mempermudah manusia hidup di dunia dan petunjuk untuk mendapati pahala sebagai bekal di akhirat? 

Tapi kok banyak orang beragama di sekitar yang tidak mencerminkan kebaikan agamanya. Baik hanya pada orang yg baik thdp dirinya. Baik jika ada perlu. Baik krn mengharap pahala bukan krn sayang thdp makhluk. Ditambah kebodohan yang tak pernah dihilangkan, menghasilkan anak keturunan penuh gangguan jiwa atas pola asuh dan lingkungan. Lalu saat kambuh, pelariannya ke agama. Gak ada usaha untuk merenung, menganalisa, belajar, lalu berubah. Hmmm.

Dan saat bisa ngeliat semua bullshit itu, malah bikin frustasi. 

Orang mati, gatau dirinya mati, yg ngerasain sedih ya orang yg masih hidup. Sama kaya orang bodoh, gak sadar dirinya bodoh, yg kena dampak kebodohannya banyak. 



Saturday, August 10, 2019

10/8/19

Kadang, ada rasa sepi teramat dalam mengikis hati. Rasanya sepi sekali. 

I feel so lonely. 
Sometimes i dont feel belong there, belong here. I dont fit in everywhere. I cant get why people do what they do. I just want to go to home, but i dont know where my home. 




Thursday, July 11, 2019

Manusia #1

Sudah 6 bulan bolak balik di rumah sakit hampir setiap hari, merhatiin banyak hal.
sampe di momen,


Dokter pergi ke rumah sakit untuk kerja,
kerja untuk mendapati uang untuk nafkah keluarganya
kerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya secara pikiran, sosialisasi, aktualisasi
kerja untuk menolong orang demi memenuhi kebutuhan batinnya


Perawat pergi ke rumah sakit untuk kerja,
kerja sebagai rutinitas dalam kehidupan
kerja untuk mendapati uang untuk survive di dunia
kerja untuk menjalani tugasnya.


Resepsionis, satpam, farmasi, petugas bpjs, petugas kantin, penjaga parkir,
cleaning service, office girl/boy, semua datang untuk kerja.
kerja untuk memenuhi kebutuhan duniawi
tuntutan kebutuhan diri, keluarga, sosial
menjalani tugasnya tak lebih dari itu.


Pasien datang untuk berobat
berobat demin sembuh
berobat untuk bertahan hidup
berobat untuk memenuhi kebutuhan dirinya yang kesepian.

Setiap orang datang punya tujuannya masing-masing
dan ironisnya, tak lebih dari memenuhi kebutuhan dirinya, keluarganya.

Fokus menjalani hidup untuk bertahan hidup.

Apa mereka peduli dengan orang lain?
Saat menolong memberikan kebahagian untuk dirinya, 
Saat merawat memberikan rasa manfaat untuk dirinya merasa berharga,

Saat menyelesaikan tugas memberikan kelegaan bagi dirinya untuk merasa aman, aman dari penilaian negatif, aman dari tugas terbengkalan, aman dari peneguran, aman untuk dapat lanjut bekerja, aman untuk finansialnya, aman untuk dirinya.

lagi-lagi, semua dilakukan untuk dirinya.
bukan murni untuk pasien, bukan untuk perusahaan, bukan untuk kemanusian, bukan untuk cinta universal. Dilakukan secara transaksional, untung rugi, dan demi dirinya sendiri.
ini baru potrait di rumah sakit, memang tidak 100%nya seperti ini.


Lalu kuperhatikan, adakah yang benar-benar tulus? yang benar sayang terhadap sesama atas dasar cinta bukan kasihan? yang benar-benar merawat menolong atas dasar panggilan jiwanya demi orang lain yang tak dikenalnya? yang benar-benar mau hingga mengorbankan diri demi keselamatan orang lain?

Semua dilakukan atas dasar sistem, aturan main, yang dibungkus dalam kata hak dan kewajiban, untuk mejaga keseimbangan , hingga semua pihak MERASA tidak dirugikan. karena kebanyakan manusia ingin untung, ingin aman, ingin nyaman. Semua cari aman.

Kadang ku bertanya,
adakah dokter dan suster yang merawat pasiennya penuh kasih seperti ia menolong dan merawat dirinya sendiri?

Adakah petugas dan karyawan yang bekerja murni atas dedikasi dan loyalitas pada perusahannya?
atau banyak manusia pada umumnya memang berharap timbal balik dan menghitung-hitung untung rugi untuk dirinya?


Rumah sakit tak lebih dari sebuah bisnis dan semua yang ada di dalamnya tunduk pada sistem.
Kadang kalau merhatiin lebih dalam, suka sedih.  Sebenarnya, orang aware sama apa yang dilakukannya kah? sadar bahwa dirinya berada dalam sebuah sistem kah? sadar bahwa realita hidup membuat manusia hidup dalam comfort zone nya kah?


Kalau dalam sebuah jalanan, orang sibuk mengendarai kendaraan masing-masing, sibuk menyebrang, sibuk jalan, marah saat macet-macetan, semua hiruk pikuk dibawah sana. Tapi adakah orang yang mau keluar dari situ dan naik ke atas gedung tinggi untuk melihat apa yang sedang terjadi di bawah sana? Dan saat bisa melihat dari sudut pandang lebih jauh, sudut pandang burung, ada pemahaman yang di dapat yang tidak akan pernah disadari jika terus-terusan berada di jalanan dan sibuk dengan tujuan dan kendaraan masing-masing, if you know what i mean.

Realitanya, banyak orang yang lebih senang tenggelam alam rutinitas dan zona nyamannya.
Sejauh ini, ketemu banyak orang, sedikit yang berani keluar dari rutinitas dan zona nyamannya untuk melihat lebih tinggi dan mendapati pemahaman yang lebih luas. Manusia terlalu takut untuk merasa tak nyaman, terlalu takut untuk keluar dari keteraturan, terlalu takut untuk berbeda, terlalu taku untuk mengambil resiko, terlalu takut untuk melihat kenyataan.