Wednesday, March 25, 2015

Lelaki Tua dan Dinas Sosial

Minggu, tanggal merah dan libur, begitulah aturan bagi sebagian besar para pekerja dan pelajar.
Angin berhirup santai, diiringin rintik hujan yang kadang kala turun tak terduga dan berhenti secepat kilat. Matahari sayup bersembunyi dibalik awan yang membiaskan cahaya dan meredam teriknya. Burung-burung berlalu lalang entah pergi kemana, menari di udara membentuk kumpulan. 

Sebuah gedung dua lantai, jauh dari jalan raya ramai, terletak di belakang, terdapat ruang-ruang dengan halaman ditengah layaknya sekolahan negeri yang lebih mengingatkan seperti bangunan penjara pembataian di Kamboja. dingin, sepi, asing. Dinas sosial di sebuah kota yang terkenal dengan industrinya. tak ada kegiatan apapun disini, hanya ada seorang penjaga piket yang memberitakan sedang menunggu ambulance untuk seseorang gelandangan. Hati sesak, panas, meluap menjadi bulir-bulir air yang tertahan di mata. 

Seorang pria tua tanpa nama, alamat, kolega, sebatang kara, sedang sakit, diantar oleh polisi dua hari yang lalu ketempat ini, tempat dengan sadangan kata sosial, entah urutan keberapa urusan sosial ini diperhitungkan dalam negeri ini. Ambulance baru datang dua hari kemudian setelah melewati berbagai prosedur pemerintahan dan batasan dana. Siang hingga sore saya diam disitu, kalau orang main ke mall di hari libur, hari itu saya main ke dinas sosial. Ada suara mengerang seiring datangnya ambulance. Sang tua dipindahkan ke kasur dorong sambil diangkut ke ambulance. Sehelai kain menutup hingga ke wajahnya, saya diam, pilu rasanya. kakinya tersingkap, yang kanan terlihat lebih bengkak dari satunya. kalau ambulance lebih banyak mengangkut orang yang sudah tak bernyawa, untuk apa ada sirine?? sedangkan orang sekarat didiamkan menunggu berlama-lama tanpa ada percepatan apapun.

Percakapan terjadi antara saya dan orang dinas sosial. "ya, kalau mati begitu ya dikubur saja di sebuah lahan untuk mr.x, tanpa doa, tanpa nama, tanpa prosedur keagamaan apapun, karena kita gak tau agamanya apa dan siapa sanak saudaranya. Dan kita yang ngegali kuburannya. sebelum meninggal, dia berantakan, kita mandiin dan suapin makanan.". Sesak dengarnya. seorang manusia diperlakukan seperti manusia dalam batas makhluk hidup, bernyawa tanpa jiwa dan perasaan, tanpa identitas, agama, keluarga. Beruntunglah orang-orang yang masih punya identitas dan kolega, yang masih dikeliling anak cucu dikala sekarat, dibacakan ayat suci, ditemani, dibimbing saat sakaratul maut, diberi nama pada batu nisannya, di doakan setiap hari, setiap tahun. 

Disisi lain, ada yang saya pelajari, kalau Tuhan gak pernah ngebiarin hambanya sendirian, selalu ada saja yang membantu, polisi yang mengantarkan ke dinas sosial, pekerja dinas yang memandikan dan nyuapin, kepala bidang dengan hirarki diatas yang rela berpeluh keringat menggali kuburan orang tak dikenal. Sekilas terlihat seperti sebuah tanggung jawab mereka untuk melakukannya, meski sebenarnya mereka punya option lain untuk tidak peduli atau menyuruh orang lain, dll. Tapi ada sang Maha Penguasa hati, mengerakan hati manusia untuk condong membantu, atau membiarkan berlalu berharap ada orang lain yang membantu.

wuallahualam bishawab.