Wednesday, February 25, 2015

Teras


"kamu mau masuk atau ngga?"
"aku di teras aja"
"yaudah, aku tutup pintunya ya"
"aku gak bakal kemana-mana, mungkin sesekali kamu bisa nengokin aku diteras".

Kamu tau, betapa menganggunya orang yang terus diam di teras, masuk ga mau, pergi ga mau?
aku bisa saja menutup pintu dan jendela tapi tidak dengan pikiranku. apa enaknya mengabaikan orang yang ada di depan rumah tanpa mempersilahkan masuk, dan apa enaknya juga terus menemani di teras dan membuka pintu tanpa ada yg masuk. cuma bikin berantakan rumah dengan angin, debu dan badan basah dari cipratan hujan. Hanya bikin gusar hati tak enak ada yang diam di depan. cukupkanlah keegoisanmu sampai sini. Jika tidak mau masuk, ya silahkan pergi. Tidak ada teras untuk orang yang berdiam lama.
-------------------------------

Pesan ku kirim lewat selular yang kadang macet di udara sana menembus barisan beton dan air yang sesekali turun di malam itu. Dia membuka ceritaku. "iya kakak" jawabnya. Komunikasi aneh, hanya berkabar sebatas text, suara, dan video. Tak ada aura dan panas tubuh yang terasa satu sama lain, tak ada tatapan mata yang menceritakan banyak hal. "maaf kakak aku gak asik orangnya kalo via hp, kita ldr sih". baru saja aku berifikir aku pun seperti itu. Kami melajutkan. "Kalau buat kakak, pintu aku terbuka lebaaaar". Hahaha kami tertawa. Terimakasih. Disitu sadar, banyak orang yang hanya mau diam di teras atau hanya mengintip dari balik jalanan. Disisi lain, ada orang-orang yang membukakan pintunya lebar dan masuk ke dalam rumah. Sudah saatnya meninggalkan apa yang tak perlu, menggusir hal menganggu, membuka pintu bagi yang mau masuk lalu menutupnya hingga ada ketokan sopan lain. Namun tetap menjaga agar rumah tidak terlalu penuh, agar masih bisa bergerak bebas,  berpakain bebas,  tertawa lepas. 


Thursday, February 19, 2015

Terimakasih

Angin berdesir melewati jendela, menyapa helai-helai rambut tipis dipermukaan kulit dengan perlahan menyelami lebih dalam, memberikan rasa dingin. Hujan turun meredam obrolan bising di sebrang bawah yang menggoar sedari senja, memberikan kesunyian. Mata yang setia pada layar cahaya senada dengan hentikan jari menekan huruf. Terus dan terus hingga bulan semakin terang dan gelap semakin pekat. Tenggelam dalam peleburan ketakutan mengejar ketertinggalan. Hanya asa yang memberikan hidup, membakar realita.

Hasrat hati menengok kebelakang, sebuah busa berbalut kain berwarna hijau lime. Sang kotak kecil tipis hitam mengeluarkan bunyi, sigap meraih dan membuka. Play, alunan gitar dengan suara yang berusaha mendendangkan lagu, air mata menetes tanpa sadar. Bukan karena lagunya, bukan karena indahnya suara gitar, bukan karena pesannya. Tapi karena dia. Orang yang dikenal tanpa rencana, hanya 3 malam bersama dalam sebuah ruang dengan interaksi sekian jam tiap malamnya. Terimakasih, balasku. Kotak hitam kecil itu pun menjadi ramai dengan bunyi-bunyi yang memberikan selamat di tengah malam lewat mendekati fajr. Kurengkuh diri masuk dalam dunia tak sadar, berusaha mematikan pikiran sejenak. Panggilan Tuhan berkumandang, berat sekali membuka, panas rasanya bola mata ini perih. Terhenyak dengan kilatan text yang tertangkap sekelibet, penasaran, suara tak asing berceloteh dalam satu menit dua puluh detik berhasil mengelak tawa, membayangkan ekspresi sang pengirim. Kuulangi sekali lagi sebelum akhirnya kutinggalkan membasuh diri dengan dinginnya air. Celotehan yang lagi-lagi berhasil menghasilkan air yang keluar dari ujung mata. Sampai ketemu di bulan Mei. Terimakasih.

Matahari malu memunculkan diri namun tetap memberikan cahayanya, membuat si oren terlihat dengan jelas. Kusapa dia sambil membuka pagar, menjalani aktivitas, melunasi hutang-hutang waktu. Sepi sekali jalanan hari itu, dalam tiga jam selesai sudah urusanku ke empat tempat. Kebutuhan biologis menderu-deru, kumasuki sebuah tempat yang barusan menggirim pesan ada menu gratis. Makan sendirian, tepat setahun yang lalu di tempat yang sama. sang kotak hitam tipis itu minta diperhatikan untuk diangkat, Hallo, mulutku berkata, seruan untuk bertemu disebuah tempat, tiba-tiba. Kumasuki lewat pintu kedalam ruangan yang membawa diri berimajinasi berada di puluhan tahun yang lalu, kursi tua, bau yang khas, melewati muka-muka bijak yang kerutnya menandakan telah mengalami dinamika hidup, mencari seseorang tercinta. Duduk sendiri melihat menu dengan serius, kusapa dengan hangat, sebuah tiramissu kesukaan hadir di depan mata. Dia, yang menempuh 4 jam untuk pertemuan yang tak lebih dari 18 menit, kemudian kembali pulang. Terimakasih. 

Kotak-kotak berlapis kertas berwarna-warni tergeletak di hamparan kilap lantai, kotak-kotak yang datang tanpa pengirimnya, menyambung rasa sayang.

Pulang untuk akhirnya pergi kembali. Seseorang mengirimkan pesan, menanyakn pulang jam berapa, ada yang nyariin, begitu katanya. Kuselesaikan urusan dengan segera, menembus malam sunyi ditemani rintik hujan dan deru halus si oren. Seseorang masuk ke kamar, bercerita dengan wajah sumringah yang entahlah seperti ada yang disembunyikan. Kotak besar berisi makanan dengan cahaya yang muncul dari api diatas benda meleleh masuk kedalam kamar diiring dua orang yang sudah sudah kuanggap dekat meski baru kenal 4 bulan. Berusaha menghabiskan namun berakhir setengah dalam toples-toples di kulkas. 

Kotak hitam tipis itu kembali berkedip, menyampaikan pesan - pesan yang diterima pemancar. Ada satu pesan yang cukup menghantam. Kamu tahu, tanyaku pada diriku sendiri. Sekarang saatnya membersihkan semua hal tak perlu, semua hal tak guna, semua hal menyakitkan, semua hal yang tak menginginkan. Kamu tahu, ada banyak asing yang mendekat, ada banyak lama yang menjaga, ada banyak cinta yang diberi. Cukup buka ruang untuk menerima baik buruknya. Karena pada akhirnya akan terlihat siapa yang akan tetap tinggal. Waktu membantu.


Kosan, 19/02/2015, 02:34 am.

Sunday, February 15, 2015

22:58

Baru sadar, kenapa dosen pembimbing pengen saya ma bimbingan dia yang satu lagi kalo apa-apa barengan. Ya, biar terstruktur, biar rapi, dan secara psikologis pun biar bisa saling terpacu dan saling menyelesaikan.

Kerasa banget, semua teman-teman sepermainan s2 saya udah pada kelar semua, tanpa komunikasi apalagi semangat, semua hidup dalam hidupnya masing. Keadaan ini ditambah saya yang gak punya temen deket seorang pun, berhasil membuat saya yang moody nan menunda2 menjadi semakin terlena. Satu-satunya yang ngegampar gw buat sadar itu cuma ibu-ibu TU yang suka nelepon nyuruh bimbingan karena disuruh dosbing (hoki deh pny pembimbing yg peduli). Kedua yang tetap membuat gw sadar itu, teman-teman diluar lingkup sosial gw (teman yg baru kenal secara ga sengaja mksdnya) yang suka nanya2 kabar tesis dan ngingetin.

Disini saya sadar, kenapa perlu punya satu teman dekat. Teman yang peduli dan tau apa yang sedang saya perjuangkan, saya takutkan. ya. untuk menjaga. Mungkin teman-teman yang saya anggap yang gak kerasa kehadirannya yang terlihat masing-masing, sbenernya mereka gak sendirian, mereka punya ortu yang rewel ma studynya, pny pacar yg ngontrol dan nyemangatin, pny tmn di tmpt lain yg ngegampar untuk sadar, dan tentunya punya kesadaran diri untuk memiliki satu tmn dekat.

Disela-sela ke stressan dan deadline, gw bersyukur banget kalo Tuhan masih ngasih orang-orang yang bikin gw on the track. AAAAARGH PUSIIIING.