Monday, January 13, 2020

Dogma Yang Terlepas

Aku dibesarkan dengan dogma "siapa yang mau temenan sama kamu?", "siapa yang manu nerima kamu?", "kalau keluarga gak bisa nerima kamu apalagi orang lain". "jadi orang bisanya cuma merusak" saat ku membuat kesalahan kecil. Saat sifatku bertentangan dengan lingkungan tumbuh, pasti aku yang dianggap anomali. Saat hal-hal yang tak sesuai keinginan dan harapan ortu, jadi aku yang disalahkan, dianggap cacat. Saat lingkungan terkecil tak bisa menerima, ibu ku mendogma dengan pikiran hitam putih seolah-olah keluarga itu pusat duniaku dimana menjadi tolak ukur keberhargaanku sebagai manusia. 

Dogma itu terus tumbuh dalam jiwa dan pikiranku selama puluhan tahun hingga menjadi core belief bahwa aku buruk, aku salah, aku tak berharga, aku tak mampu apapun.

Saat ku tumbuh dewasa, bergaul dengan beragam jenis orang, berada di lingkungan baru, dogma itu perlahan luntur oleh realita. Realitanya, banyak yang bisa menerima diri apa adanya, banyak yang sayang, banyak yang mau temenan, dan hidup tak sehitam putih dogma ibu.

Wajar manusia mempunyai kekurangan dan kelebihan. Wajar manusia membuat kesalahan. Wajar manusai ada yang suka dan tidak suka. Wajar manusia tidak cocok di suatu lingkungan. Dan itu semua bukan berarti dunia hancur karena diri buruk seutuhnya. 

Terimakasih ibu, engkau telah mengasuh ku dengan dogma penghancur keberhagaan diri.
telah erawat ku penuh rasa bersalah dan ketidaklayakan. Terimakasih telah memproyeksikan luka batinmu terhadap anak perempuanmu. Terimakasih telah membuatku rusak puluhan tahun hidup tersesat tanpa arah diliputi rasa tak berharga dan inferior.

Dan Teriamakasih semesta, telah membuat ku sadar dan bebenah diri, agar perusakan generasi ini tidak berlanut ke generasi selanjutnya.

No comments:

Post a Comment