Monday, August 24, 2020

Perpanjangan

*ini cerita kisah, bukan ngomongin orang. Focus on value, moral, and insight ya.

Beberapa tahun lalu, di perjalanan pulang dari tempat kerja, ada berita uwa meninggal. Sontak rasa sedh melanda dan langsung menayakan alamat lengkap untuk langsung pergi ke rumahnya naik gocar. Setelah dipikir, lebih baik pulang ke rumah nenek dulu dan berangkat bareng dengan orang rumah. Nenek sudah berangkat duluan, dan di rumah masih banyak orang yang pergi masing-masing. 

Singkat cerita sampai lah di rumah uwa. Sanak saudara menanyakan kemana ibu, saya bilang sedang di Thailand dari kantornya. Lalu beberapa om dan uwa berkomentar "teteh disuruh ibu ya kesini", "teteh ngewakilin ibu ya", dan kalimat-kalimat sejenis. Sampai di titik, kenapa saya dilihat sebagai perpanjangan dan wakil orang tua? Kenapa mereka gak melihat saya sebagai keponakan yang memang datang atas keinginan sendiri karena kepedulian dan rasa kasih terhadap uwa? Kenapa saya dikait-kaitan dengan orang tua? Apa pentingnya jg ibu menyuruh saya mewakili dirinya, memang menghadiri kematian sanak saudara itu diabsen layaknya meeting kantor yang butuh perwakilan saat yang bertugas tak dapat hadir?

Selama di rumah tersebut, saya memperhatikan, setiap orang sibuk dengan orang-orang yang dianggap "penting", seperti para orang tua, saudara berumur, tetangga, rekan kerja. dan para sepupuh pun bareng sama keluarga intinya masing-masing. Disitu saya merasa sendirian banget, bener-bener sendirian. Kemudian, saat shalat jenazah, cuma satu saudara yang gak memetingkan keluarga intinya aja, dia menyapa "sini, disini aja shalatnya" sebelahnya, dikala saya tersisih hingga barisan terbelakang sesendirian. 

Hari semakin malam, bingung mau pulangnya gimana. Akhirnya saya pulang bersama istri om, nebeng gocar sepupuh. Itu pun turunnya di pinggir jalan terus lanjut nyebrang dan jalan kaki sampai rumah. Sampai rumah, saya merenung "gini ya saat datang ke acara keluarga tanpa orang tua alias sendirian, ya hasilnya sesendirian meski dikelilingin orang-orang satu darah. Mereka melihat saya sebagai anak ibu, bukan sebagai keponakan layak anaknya sendiri, bukan sebagai sepupuh yang dianggap kakak/adiknya sendiri". Dan realita kenyataan tersebut saya terima. 

Sebelumnya, ada beberapa kejadian sejenis. Kalau diperhatiin, kadang ada orang2 menolong/ nganterin/ nengok karena takut dianggap ini itu, dengan kata lain motivasi bukan dari gerak hati spontannya. Hal kedua yang diamati yang sering terjadi adalah kalau ada yang bermasalah pasti sekeluarga ikut-ikutan/ kebawa-bawa. Misal ortu bermasalah, anaknya ikut2an musuhin orang yang dianggap musuh ibunya. Anak bermasalah, ortunya belain dengan ikut2an musuhin orang yang dianggap menganggu wellbeing anaknya. 


No comments:

Post a Comment