Thursday, June 20, 2019

Korban dan Raja

Manusia diciptakan tak terlepas dari emosi.
Merasakan beragam emosi. nah dari emosi-emosi yang hadir, seringnya memposisikan diri sebagai korban atau raja?

Misal, kamu diselingkuhi, pada umumnya orang merasa kecewa, sedih, bahkan bisa sampe depesi. Nah dari emosi yang hadir, kamu merasa diri sebagai korban dan berlarut dalam kesedihan atau berusaha menjadi raja dari emosi kamu dengan berusaha mengedalikan perasaan yang muncul dan mengalirkannya ke hal-hal konsruktif. Apa yang biasa kamu lakukan? Menjadi korban atau Raja?


Seorang ibu memiliki anak yang sulit sekali dia kendalikan. Lalu merasa dirinya adalah korban dan satu-satunya yang diuji. Kerjanya meratapi, marah-marah, merasa diri tak berharga, hingga merasa berhak memarahi anaknya karena memposisikan dirinya yang paling menderita. Ia lupa kalau anak pun diuji, anak pun punya struggle nya, anak pun punya masalah. Jika sang ibu bermental raja, saat mendapati anak yang kurang compatible hingga sulit ia kendalikan, maka ia akan melihat itu sebagai tantangan, sebagai peluang untuk membuatnya tumbuh dan menjadi orang yg lebih bijak. Maka ia kana menerima, mengobservasi, belajar, beradaptasi, dan memperbaiki keadaan lewat perbaikan mindset dan mentalnya, maka tanpa sadar ia telah menjadi raja dari emosinya sendiri dan telah memberi contoh yang baik untuk anaknya.

Seorang anak sakit karena dirinya kurang menjaga kesehatan, lalu sedih karena harus opname di rumah sakit. Lalu keluarganya bilang "sabar ya sedang diuji". Pertama, si anak sakit karen kesalahannya, harusnya diajarkan taking responsibility dengan "ini kamu sakit karena kurang jaga kesehatan", lalu biar ia berfikir sendiri. Kedua, respon "sabar sedang diuji" tanpa sadar mengajarkan anak memposisikan diri sebagai korban dan orang tak berdaya. coba bandingin sama respon "wuih enak sakit, bisa istirahat badan dan pikirannya", maka ia kana melihat sakit sebagai suatu peluang positif untuk kebaikan dirinya, bahkan bisa menstimuli perasaan superior sehingga ia bisa mengendalikan emosi dan perasaannya. Maksudnya, ia jadi bisa merasa punya kendali terhadap keadaan dan dirinya.

Nah, dalam lingkungan kita sehari-hari, lebih sering ketemu orang bermental korban atau bermental raja?

Kalau lingkungan utama dan pertama kita (keluarga) banyak yang bermental korban, playing small, playing victim, maka tanpa sadar kita pun terbawa polanya dan mirip mereka. Untuk bisa keluar dari "turunan" seperti itu, cara pertama adalah cari lingkungan baru, bergaul sama banyak jenis orang yang beragam, reflektif instropeksi, self educate (edukasi diri), dan mulai pela-pela merubah diri.


Kadang untuk tumbuh lebih sehat dan waras, demi perbaikan diri untuk keturunan yang lebih berkualitas, kita perlu meninggalkan lingkungan yang tidak baik untuk menjaga diri dari kontaminasi hingga diri benar-benar telah sehat dan kebal terhadap kontaminasi tersebut. Pergi jauh dari keluarga bukanlah hal jahat. Jika memang lebih banyak mudharatnya, kenapa tidak? 

Mindset, mental, dan perilaku terjadi turun temurun. Gimana kita bisa sadar berada di lingkungan toxic dan diri punya banya "penyakit" kalau kita belum pernah melihat apa itu lingkungan sehat dan orang-orang waras? Bagaimana kita bisa tumbuh sehat dan memperbaiki diri jika berada dilingunga negatif yang menarik diri untuk terus sama seperti mereka? Gimana bisa memutuskan rantai tidak baik demi generasi yang lebih baik, jika kita tidak bisa memperbaiki diri?


Menjadi korban dan raja dari emosi sendiri adalah contoh kecil dalam proses perbaikan diri. Contoh kecil bagaimana mindset raja dan korban tertanam dalam diri seseorang lewat interaksi pertamanya dan lingkungan terdekatnya.

No comments:

Post a Comment