Thursday, December 24, 2020

Mengantar Tuan Putri Pulang (1)

Akhir desember 2013
Kapal sampai di labuan bajo, tiket pulang belum dibeli, berakhir overland flores bersama beberapa teman satu kapal sailing lombok-labuan bajo. Saat itu bareng sinta, biko, aul, dewi, dan abi yang datang dari bali. Selesai overland selama seminggu, kami kembali ke labuan bajo, berniat naik fery ke lombok, malas, berakhir pergi dan menginap di sebuah resort di pulau kanawa. Bertemu kembali dengan aul dan dewi, sedangkan biko sudah pulang duluan ke jkt. Karena tiket pesawat esok pagi jam 8 maka kami bertiga (aku, sinta, abi) menyewa perahu untuk kembali ke labuan bajo dan lanjut ke bandara. Aku pulang ke jakarta, abi dan sinta ke bali. 

Saat di perahu meninggalkan flores, ada perasaan sedih mendalam. Sebuah perasaan seperti meninggalkan rumah "home", sedih sekali rasanya hingga air mata jatuh tak tertahan. Aku berusaha menyembunyikan sedih dan tanggis dari yang lain. 

Juli 2018
Aku kembali ke tanah flores, mendarat langsung di labuan bajo. Sendirian pergi sendiri. Di saat itu habis ada kejadian yang cukup menguncang jiwa dan butuh rehat, flores menjadi tempat terdamai dengan segala memory nya. Ternyata pergi sendirian sama bahagianya saat pergi bersama teman-teman. Bahkan banyak sekali kemudahan dan keberuntungan yang di dapat. Dari mulai dapat penginapan yg orang lain perlu booking bbrp bulan sebelumnya, aku dpt on the spot. Menginap di boatel la pirates tengah laut. Dan keberuntungan terus terjadi, entah mengapa semua orang lokal yang ditemui disana sangat melayani dan menjagaku. Mulai dari tukang ojeg yang ngejagain, bawain barang, fotoin, menuntun, mengikuti sampai ke dalam hutan 10km jalan kaki pulang pergi. Aku membayar lebih/ dia minta bayaran diluar transport? Tidak. Lalu pergi ke sebuat tempat 4 jam dari kota naik motor, melewati hutan, ternyta kmrn ada kejadian bule perancis diperkosa tukang ojegnya lalu di rampok, orang2 waswas melihat ku, puji Tuhan aku sampai dengan selamat. Ikut one day trip, dapat harga diskon, dibeliin makan sama ABK gratis, dan gatau knp guide berubah jd asisten pribadi cuma ngurusin aku dr satu tempat ke tempat lain. Sampe akhirnya di pulau kanawa, hanya sebentar, pas pulang, seiring senja diatas speed boat, air mata turun tak tertahan. Menangis dalam isakan penuh kesakitan dalam dada, kesedihan tak terbendung meninggalkan pulau kanawa, rasanya sama seperti 5 tahun lalu, seperti meninggalkan rumah dalam kesendirian. 

Sampai pelabuhan, makan bakso sambil duduk liat laut. Mengobrol dengan nelayan dan tukang perahu. Terbesit dalam hati ingin kembali ke kanawa. Berakhir sewa kapal dapat 1/7 harga. Esok pagi sebelum ke bandara, aku ke kanwa kembali sendirian ditemani kapten kapal dan anak laki-lakinya. Rasanya bahagia seperti mau pulang ke rumah setelah lama merantau. Sampai lokasi, duduk pinggir pantai, tiduran santai. Lalu berjalan ke arah hutan, ada sesuatu yang menggerakanku ke arah sana. Lalu langkah terhenti saat kapten kapal berteriak memanggil mengigatkan waktu agar aku tak tertinggal pesawat. Aku pun pergi meningalkan kanawa dengan berat hati. Dan lagi-lagi air mata berlinang sedih saat perahu mulai menjauh dari pulau kanawa. Perasaan sedih teramat dalam. Rasanya ingin kembali dan tinggal disana. 

Sampai pelabuhan, bingung ke bandara pakai apa. Ketemu mobil, tawar menawar dari harga 70rb, aku hanya bayar 20rb (1/3 harga normal). Sesampai bandara, aku menjadi orang terakhir dalam antrian, was-was tertinggal pesawat. Tiba-tiba counter di closed tepat 2 orang terakhir. Lalu kami (aku dan satu bapak2) dikasih tiket bisnis. Kami menunggu di louge khusus yang dilengkapi makanan prasmanan. Pesawat delay 4 jam karena cuaca, orang-orang mulai marah karena pada kelaparan (tempat makan di bandara saat itu sangat minim bahkan hampir tidak ada). Aku merasa beruntung sekali saat itu, apat kelas bisnis tanpa keluar uang sepeserpun, menunggu di lounge dengan makanan berlimpah dan sofa nyaman. Akhirnya pesawat datang, kami naik ke pesawat. Bapak-bapak yang bersamaku ternyata nomer kursi pesawatnya sebelahan. Dia orang lokal flores, dan anehnya, ia seperti orang-orang flores yang ku temui sebelumnya, ia melayani dan seolah2 merasa bertanggung jawab dengan ku. Aku gerak dikit, dia langsung sigap. Minuman datang, dia ambil minumanku dari pramugari dan menaruhnya. Saat sampai, ia pun menurunkan barangku dan mempersilahkanku turun duluan. 

12 malam sampai di bandara soekarno hatta. Sendirian, gak ada yang bantuin bawa barang, di tolak taxi-taxi, sudah capai sekali rasanya ingin pulang tp gak bisa pulang, kesal. Telepon ortu, mereka tidur. Akhirnya 2 jam kemudian dijemput. Hidupku berubah 180 derajat sampai Jakarta. di Flores ku merasa seperti tuan putri, semua melayani, baik, semua yg dimau di dapat, orang2 menjaga. Sampai rumah berubah ajdi "gelandangan" dan terabaikan. 

No comments:

Post a Comment