Tuesday, April 2, 2024

Ramadhan #22

Mengasihi dan mengasihani diri sendiri adalah dua hal berbeda.

Saat mengasihi, tandanya kita bersyukur pada diri sendiri, menyayangi, meraawat, menjaga, dan memperlakukan diri penuh kehormatan, kebaikan, kasih sayang, dan cinta tak bersyarat. Fokusnya pada diri sendiri untuk membuat diri lebih baik, lebih sehat, lebih luas, lebih tinggi; meningkatkan kualitas diri dan kehidupan diri. Termasuk saat menyayangi dan berbuat baik pada sekitar dan orang lain, dilakukan karena sayang pada diri sendiri dan berbagi kasih pada sekitar tanpa merusak, merugikan, dan menyakiti diri sendiri. 

Saat mengasihani diri sendiri, berarti diri memiliki judgement dan men-juduge diri sendiri less than. Bagaimana rasa syukur bisa tercipta dari energi menghakimi diri sendiri rendah dan kurang? Bagaimana rasa kasih dan cinta mampu tumbuh dengan baik dari penilaian menyedihkan akan diri sendiri? Bagaimana diri mampu menyayangi orang lain dan sekitar jika diri sendiri pun dianggap kurang dan menyedihkan? Alih-alih memberi karena diri berlimpah, yang ada malah berbuat baik, menolong, berkorban, mengurusi orang lain sebagai proyeksi mengasihani diri sendiri, dimana diri tak mampu menolong diri sendiri hingga fokusnya ke dunia luar. Fokusnya menolong orang, membantu orang, memprioritaskan orang, mengurusi urusan orang, sekalipun orang lainnya tak meminta. 

Rasa syukur muncul saat tak ada penilaian (judgement) pada diri sendiri maupun orang lain.
Rasa syukur tumbuh dari energy kasih (kasih pada diri sendiri, kasih pada orang lain, kasih pada mahluk hidup lainnya, kasih pada bumi, kasih pada alam semesta, kasih pada sang Pencipta yang rasa kasihNya tak terbatas untuk seluruh makhlukNya) yang berkembang menjadi keberlimpahan.
Dan keberlimpahan akan tumbuh menjadi energy yang terus memupuk hal-hal yang disyukuri semakin berkembang, semakin banyak, semakin hebat, semakin berlimpah. 

No comments:

Post a Comment